Berlaku demikian karena memang terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada kontitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Karena itu pula kemudian muncul istilah demokrasi konstitusional.
"Yang jadi pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dalam negara demokrasi khususnya di dalam negara berkembang kerap muncul kekuasaan yang ditopang oleh oligarki, dalam sistem demokrasi?" kata dia.
Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas mengutip catatan Prof Suteki dalam buku Hukum dan masyarakat, mengenai beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki. Pertama, keberadaan figur utama dalam elite partai yang menjadi penentu dalam banyak keputusan yang merupakan representasi dari ideologis dan historis dari pembentukan partai itu sendiri.
Kedua, adanya ketergantungan finansial pada sumber sumber keuangan Partai yang kerap dimiliki oleh elit partai, dimana Colin Crouch (2004) menggunakan istilah 'Firma politik'. Ketiga, karena pelembagaan partai yang belum sempurna, dimana kondisi sistem yang dibangun partai masih merujuk pada elit partai.
Selanjutnya AD/ART partai yang masih menjunjung tinggi elit partai. Terakhir faktor eksternal yang turut mempengaruhi partai, yang mana masih memberikan celah untuk membangun oligarki dalam dirinya. Baik pada kaderisasi maupun pengelolaan keuangan masih yang dijalankan secara sentralistik .
Agus juga menuturkan, Jeffrey A.Winters dalam bukunya bertajuk oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Pertama oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas hingga mampu menguasai simpul simpul kekuasaan dan kedua oligarki yang beroperasi pada kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.
"Jika menilik pendapat Jeffri A Winters, seharusnya suara rakyat tidak hanya dibutuhkan dan diakui hanya untuk 5 tahunan saat pemilu. Setelah itu suara rakyat yang pada esensinya adalah Suara Tuhan, tidak lagi dianggap. Ini harus dihindari, para elit partai dan para stake holder pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar aspirasi rakyat," ucapnya.
Karena itu, Agus mengkhawatirkan dampak sebagaimana pernah ditegaskan Jeffry A Winters, yakni timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi dan politik itu sendiri. Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi negara demokrasi dan dengannya pula esensi negara hukum menjadi tidak jelas.
"Sistem yang ditimbulkan oleh pengaruh kekuasaan oligarki bisa menimbulkan dampak serius, kolapsnya negara hukum, serta prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila juga hanya tinggal slogan tertulis, dimana ruhnya demokrasi dan negara hukum sesuai kontitusi telah tiada lagi," bebernya.
Lebih lanjut, Agus berpesan agar semua pihak yang mengikuti kontestasi dalam Pemilu 2024 untuk senantiasa menjunjung tinggi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) bagi Kedaulatan dan keadilan bersama.
Sumber: jawapos
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Whoosh: DPR Dukung KPK Usut Tuntas
Wakil Wali Kota Bandung Erwin Bantah OTT Kejaksaan: Ini Faktanya
MKD DPR Tolak Pengunduran Diri Rahayu Saraswati, Tetap Jadi Anggota Dewan
Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ditangkap Kejari: Ini Fakta dan Kronologi Lengkapnya