Banjir Sumatera 2025: 1.030 Korban Jiwa & Polemik Penolakan Status Bencana Nasional

- Rabu, 17 Desember 2025 | 08:25 WIB
Banjir Sumatera 2025: 1.030 Korban Jiwa & Polemik Penolakan Status Bencana Nasional

Bencana ini tidak hanya merenggut nyawa dan rumah, tetapi juga melumpuhkan sendi-sendi pelayanan publik yang vital di saat paling dibutuhkan:

  • 219 fasilitas kesehatan terdampak.
  • 967 fasilitas pendidikan rusak.
  • 434 rumah ibadah terdampak.
  • 290 gedung perkantoran dan 145 jembatan rusak/ambruk.

Kontras Kebijakan: Pemerintah Pusat vs. Pemerintah Daerah

Di tengah penegasan kemandirian dari Jakarta, Pemerintah Aceh justru secara resmi mengajukan permintaan bantuan kepada lembaga internasional seperti UNDP dan UNICEF. Langkah ini didasari pengalaman dan kapasitas tanggap darurat yang terbatas di lapangan, di mana logistik dan layanan dasar bagi pengungsi sudah kewalahan.

Bantuan dari negara lain seperti Malaysia dan China dilaporkan sudah mulai masuk, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak yang diakui oleh komunitas global.

Pertanyaan Kritis: "Terkendali" Menurut Siapa?

Narasi dari pemerintah pusat tentang kapasitas nasional bertemu dengan realitas penderitaan di lapangan. Bagi para pengungsi yang kehilangan tempat tinggal dan hidup di tengah lumpur setinggi dada, istilah "terkendali" kehilangan makna. Keluhan warga Aceh tentang banjir lumpur yang berbeda dari banjir biasa dan membuat rumah tidak dapat dihuni lagi menjadi suara yang kritis.

Kemandirian vs. Kecepatan Penanganan: Mana yang Lebih Prioritas?

Perdebatan ini pada intinya menyoroti benturan antara martabat nasional dan urgensi kemanusiaan. Data BNPB berbicara jelas tentang skala tragedi yang membutuhkan respons luar biasa. Kemandirian sejati sebuah bangsa diuji bukan oleh kemampuan menolak bantuan, tetapi oleh kecepatan dan efektivitas dalam menyelamatkan nyawa serta memulihkan kehidupan warganya.

Ketika daerah terpaksa mencari bantuan luar negeri untuk menyelamatkan rakyatnya, yang perlu dievaluasi adalah keselarasan antara kebijakan di tingkat pusat dengan kondisi riil dan kebutuhan mendesak di garis depan bencana.

Penulis adalah Ketua Satupena Kalimantan Barat.

Halaman:

Komentar