PIP Aspirasi Dikritik: Benarkah Program Indonesia Pintar Jadi Alat Politik?

- Senin, 15 Desember 2025 | 09:25 WIB
PIP Aspirasi Dikritik: Benarkah Program Indonesia Pintar Jadi Alat Politik?
  1. Pembelian Suara Terselubung (Vote Buying): Bantuan yang seharusnya merupakan hak konstitusional dari APBN, sering dikemas seolah-olah sebagai "kebaikan" pribadi politisi melalui pemasangan foto atau logo partai. Hal ini mendistorsi persepsi publik dan menciptakan ketergantungan politik.
  2. Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power): Tanpa instrumen verifikasi yang komprehensif seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), keterlibatan anggota dewan membuka peluang kolusi. Penerima bisa dipilih berdasarkan loyalitas politik atau kedekatan, bukan kriteria kemiskinan yang objektif.

Dampak Sistemik: Distorsi Keadilan dan Kepercayaan Publik

Politisasi PIP Aspirasi berdampak sistemik. Program yang seharusnya berbasis kebutuhan berubah menjadi berbasis dukungan politik. Akibatnya, banyak keluarga miskin yang layak justru terlewatkan karena tidak memiliki koneksi politik. Masyarakat pun mulai memandang akses pendidikan sebagai komoditas yang dinegosiasikan, bukan hak yang dijamin negara, sehingga merusak kepercayaan pada institusi publik.

Rekomendasi untuk Mengembalikan Marwah PIP

Untuk memulihkan Program Indonesia Pintar sebagai program kesejahteraan murni, diperlukan langkah-langkah korektif:

  • Pengembalian Fungsi Pengawasan: Komisi X DPR harus fokus pada pengawasan kinerja Kementerian Pendidikan, bukan turun menentukan penerima.
  • Sentralisasi Data Penerima: Penentuan dan verifikasi penerima harus sepenuhnya dikelola oleh eksekutif (Kementerian Pendidikan) berdasarkan data terpadu seperti DTKS.
  • Audit dan Transparansi: Perlu audit rutin untuk membandingkan penerima jalur aspirasi dengan reguler. Pemerintah wajib menyediakan portal transparan yang menampilkan informasi tanpa embel-embel politik.

Catatan Penting: Program Indonesia Pintar harus hadir sebagai wajah negara yang adil, melayani semua warga berdasarkan kebutuhan, bukan dukungan politik. Jangan biarkan program mulia ini menjadi alat kampanye yang mengkhianati amanat pemerataan pendidikan.

(Wartawan Senior)

Halaman:

Komentar