Karakter inilah yang membuat pasar global percaya, tetapi di sisi lain sering dianggap menghambat agenda politik dalam negeri.
Presiden Prabowo datang dengan target pertumbuhan delapan persen, program makan bergizi gratis, dan proyek-proyek besar yang menuntut pembelanjaan masif. Dengan karakter seperti itu, Sri Mulyani lebih terlihat sebagai batu sandungan daripada mitra.
Untuk membuka gas fiskal, rem yang terlalu kuat harus dilepaskan. Kerusuhan memberi kesempatan itu. Publik sudah dibuat resah, rumah sang menteri ikut jadi korban, maka menggantinya terasa wajar.
Masuklah Purbaya Yudhi Sadewa. Seorang ekonom lulusan ITB dan Purdue yang dikenal blak-blakan dan agresif. Hanya beberapa hari setelah dilantik, ia langsung mengumumkan langkah berani dengan memindahkan lebih dari Rp200 triliun dana kas negara ke bank-bank milik pemerintah untuk mendorong kredit produktif.
Tidak lama kemudian, Bank Indonesia membuat kejutan dengan memangkas suku bunga, sebuah keputusan yang dipandang terlalu dini oleh sebagian analis. Pasar internasional mencatat arah baru kebijakan ini dengan penuh was-was.
Rupiah melemah, IHSG bergejolak, investor asing bertanya-tanya apakah Indonesia masih memegang komitmen pada disiplin fiskal. Reuters menulis bahwa hilangnya Sri Mulyani berarti hilangnya figur independen yang berani berkata tidak pada kebijakan populis, sementara Bloomberg,/i> menyoroti potensi politisasi kebijakan moneter dan fiskal yang kian kentara.
Narasi “Efek Purbaya” pun lahir. Fiskal menjadi lebih agresif, pertumbuhan diangkat sebagai mantra, sementara kredibilitas jangka panjang dipertaruhkan.
Dalam logika konspiratif, pola ini begitu jelas. Kerusuhan menciptakan krisis visual, publik digiring untuk percaya bahwa keadaan darurat menuntut solusi besar, dan solusi itu hadir dalam bentuk pergantian Menteri Keuangan.
Figur baru kemudian membuka keran belanja, menyalurkan dana negara ke sistem perbankan, memberi ruang gerak luas bagi BUMN dan kontraktor proyek, sekaligus menyamarkan kepentingan politik di balik jargon pertumbuhan.
Yang paling diuntungkan jelas adalah eksekutif yang kini bisa bergerak tanpa rem terlalu ketat. Himbara menikmati limpahan likuiditas, kontraktor proyek melihat peluang baru, elite politik memperoleh ruang klaim sebagai penggerak ekonomi.
Yang dirugikan justru pasar global yang kehilangan jangkar kepercayaan, serta masyarakat yang terancam inflasi bila ekspansi fiskal tidak diimbangi perbaikan suplai. Dan tentu saja, yang paling terluka adalah prinsip bahwa kebijakan fiskal dijalankan demi stabilitas jangka panjang, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Jika dibaca dengan nalar konspiratif, maka logikanya sederhana. Kerusuhan bisa dibiarkan menggelembung, simbol publik seperti rumah Sri Mulyani dijadikan panggung, lalu reshuffle dipasarkan sebagai solusi.
Faktanya, Sri Mulyani jatuh bukan karena gagal, melainkan karena terlalu kuat "menjaga disiplin". Dan publik diarahkan untuk percaya bahwa pergantian ini adalah demi pertumbuhan, padahal bisa jadi ini hanyalah pintu masuk penjarahan fiskal yang lebih rapi, yang dilakukan lewat APBN dengan baju kebijakan.
(Peneliti Lingkar Study Data dan Informasi)
Artikel Terkait
Prabowo Instruksikan Pembatasan Game Online Kekerasan Pasca Ledakan SMAN 72, Ini Langkahnya
Kisah Tragis Ratu Sekar Kedaton: Diasingkan ke Manado hingga Akhir Hayat
Ledakan SMAN 72 Jakarta: CCTV Ungkap Pelaku Bawa Dua Tas, Profilnya Pendiam
Krisis Pangan Gaza: Fakta Kelaparan & Pelanggaran Bantuan Pasca Gencatan Senjata