Memajaki Duit Hasil Korupsi, Isi Pundi Negara Tanpa Distorsi Ekonomi

- Minggu, 14 September 2025 | 20:40 WIB
Memajaki Duit Hasil Korupsi, Isi Pundi Negara Tanpa Distorsi Ekonomi


'Memajaki Duit Hasil Korupsi, Isi Pundi Negara Tanpa Distorsi Ekonomi'


SUPAYA ruang fiskal negara terus sehat, rupa-rupanya sumber pendapatan baru mesti dicari setiap waktu. Salah satu sumber pendapatan itu, tidak lain adalah pajak.


Kalau dilihat-lihat, selama ini agenda menggali sumber baru pendapatan negara melalui pajak lebih banyak menyasar pengusaha. 


Barangkali, ini karena pelaku usaha merupakan pihak yang paling banyak memiliki tambahan kemampuan ekonomis.


Tapi kebijakan pajak memang cukup sensitif. Setiap kali ada wacana pajak baru yang menekan pengusaha, keberatan hampir selalu mengemuka. 


Sebenarnya tidak heran. Kalau melihat lagi sejarah dunia, sebetulnya penerapan pajak itu tidak pernah lepas dari resistensi (Darussalam, 2024).


Pengenaan jenis pajak baru atau peningkatan tarif pajak bagi pelaku usaha dikhawatirkan bisa berujung pada peningkatan harga jual barang atau jasa. 


Ujungnya, daya beli masyarakat ikut tertekan. Tentu bukan itu yang kita inginkan.


Sebenarnya ada sumber baru pendapatan dari pos pajak yang bisa saja diterapkan, tanpa membuat pengusaha was-was. Pengenaan pajak baru ini tidak ada sangkut-pautnya dengan pelaku usaha.


Apa itu? Memajaki uang hasil korupsi.


Walau belum bisa dipastikan akurasinya, beberapa lembaga resmi telah merilis besaran uang hasil korupsi di Indonesia. 


Pada 2024, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa transaksi terkait dengan tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai Rp984 triliun.


Sementara itu, Kejaksaan Agung menduga bahwa ulah koruptor merugikan negara senilai Rp310,61 triliun pada tahun yang sama. Fantastis!


Dilihat dari data di atas, potensi penerimaan negara praktik pungutan pajak atas hasil korupsi sangat menjanjikan. 


Apalagi, dengan komitmen pemberantasan korupsi yang terus terjaga pada tahun-tahun mendatang. 


Makin banyak kasus korupsi diungkap, makin tinggi pula peluang bagi negara untuk meraup pendapatan dari pemajakan atas uang hasil korupsi.


Objek Pajak Penghasilan


Kalau uang hasil korupsi dipajaki, bagaimana menentukan objek pajaknya? Mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh, objek pajak diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang.


Sementara itu, objek pajak untuk PPh adalah penghasilan. Penghasilan sendiri diartikan sebagai setiap kemampuan tambahan ekonomis yang diterima wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.


Ada beberapa kelompok penghasilan berdasarkan UU PPh.


Pertama, penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja maupun pekerjaan bebas, misalnya gaji, honorarium, dan lain-lain. Kedua, penghasilan dari usaha dan kegiatan.


Ketiga, penghasilan dari modal atau investasi yang berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak seperti bunga, dividen, sewa, royalti, dan lainnya. Keempat, penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang, hadiah, dan yang lainnya.


Nah, uang yang berasal dari kejahatan korupsi bisa digolongkan sebagai penghasilan lain-lain yang memberikan tambahan ekonomis bagi wajib pajak. 


'Uang haram' ini merupakan tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak.


Dengan demikian, uang hasil korupsi termasuk dalam objek pajak.


Siapkan Payung Hukum


Dalam dunia perpajakan, regulasi dibuat berjenjang. Mulai dari undang-undang, disusul peraturan turunannya, baik berupa peraturan pemerintah (PP), peraturanmenteri keuangan (PMK), keputusan menteri keuangan (KMK), hingga surat edaran (SE) dirjen pajak.


Karenanya, wacana pemajakan uang hasil korupsi ini perlu diberikan payung hukum terlebih dulu sesuai dengan jenjang regulasi yang ada.


Menurut penulis, ada empat hal yang mesti diatur pada rujukan legal formal sebelum memajaki uang hasil korupsi, yaitu waktu terutang pajak, besaran tarif pajak, mekanisme penyetoran uang pajak, dan jumlah uang yang dipajaki atau dasar pengenaan pajaknya.


Kita urai satu per satu.


Pertama, kapan terutang pajak? Seperti kasus kriminal pada umumnya, seseorang terbukti bersalah setelah diketok palu oleh hakim dalam proses pengadilan. 


Demikian pula dalam kasus pidana korupsi. Dimulainya waktu terutang pajak adalah pada saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.


Kedua, besaran tarif pajak. Mengingat ini adalah pajak penghasilan, besaran tarif bisa memakai tarif sesuai dengan UU PPh bagi wajib pajak orang pribadi, yakni sebesar 5 persen sampai dengan 35%, tergantung pada besarnya uang yang dikorupsi setiap tahun.


Namun, mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa, bisa juga diambil kebijakan pengenaan satu tarif, yakni tarif tertinggi atau 35 persen pada semua level jumlah uang yang dikorupsi.


Ketiga, mekanisme penyetoran uang pajak. Agar lebih mudah, waktu penyetoran disamakan dengan waktu pengembalian aset kepada negara, sesuai dengan keputusan hakim.


Keempat, jumlah uang yang dipajaki. Dasar pengenaan pajak (DPP) sebaiknya disesuaikan dengan putusan hakim atau diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri keuangan (PMK).


Menjadikan uang yang berasal dari korupsi sebagai objek pajak merupakan langkah penting untuk diwujudkan. 


Upaya ini solutif terhadap persoalan bangsa. Ingat, Indonesia sedang memiliki pekerjaan rumah besar di bidang keuangan.


Ada berita yang mencabarkan hati dari Kementerian Keuangan. Pemerintah memproyeksikan defisit anggaran dalam APBN 2025 mencapai Rp662 triliun atau 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB).


Angka tersebut melampaui target awal senilai Rp612,2 triliun atau 2,53% dari PDB. 


Peningkatan ini dipicu oleh penerimaan negara yang lebih rendah dari perkiraan terutama dari pajak. 


Situasi ini menjadi sinyal bagi pemerintah bahwa finansial negara rapuh oleh ancaman defisit.


Negara mesti kreatif menggali sumber-sumber pendapatan baru. Selama ini kembalinya uang negara yang berada di saku koruptor ditempuh melalui beberapa mekanisme hukum seperti penyitaan, pelelangan dan denda. Agaknya perlu ditambah satu lagi, yakni menarik pajak uang hasil korupsi.


Kebijakan Populer


Negara sangat dirugikan oleh korupsi. Namun, di tengah maraknya kasus korupsi dengan jumlah kerugian superdahsyat, ada wacana melemahnya tekanan politik terhadap upaya penegakan hukum.


Semisal, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang 'memberikan maaf' kepada koruptor asal uang hasil korupsi dikembalikan (Tempo, 2024). Cara pengembalianya pun boleh secara diam-diam supaya tidak ketahuan.


Sekarang inilah saatnya pemerintah bersikap tegas terhadap para koruptor, bukan sebaliknya.


Memajaki uang hasil korupsi bisa menjadi kebijakan populer untuk meraih kembali kepercayaan rakyat terhadap sikap serius pemerintah melawan korupsi. Langkah ini bisa menimbulkan efek jera bagi koruptor. 


Di sisi lain, kebijakan ini potensial menjadi sumber penerimaan berkelanjutan tanpa mendistorsi ekonomi.


Sumber: DDTC

Komentar