Inilah bahaya justifikasi: ia mengubah tindak kriminal menjadi tampak heroik. Ia menjadikan perusakan dan penjarahan seolah-olah sah, karena dilakukan atas nama “rasa sakit hati rakyat”.
Padahal, perasaan tidak pernah bisa menjadi dasar hukum. Bila setiap kekecewaan dibalas dengan anarki, maka yang runtuh bukan hanya rumah pejabat, tetapi juga kewibawaan negara.
Lebih jauh, legitimasi akademisi memperkuat provokasi di media sosial. Potongan pernyataan yang seolah ilmiah akan beredar luas, membenarkan amarah massa, dan mengajarkan publik bahwa jalan pintas lebih mulia daripada hukum.
Jika hal ini dibiarkan, kampus akan kehilangan martabatnya. Akademisi bukan lagi penjaga akal sehat bangsa, melainkan corong anarki yang merusak sendi-sendi negara.
Membela rakyat tidak berarti menghalalkan kekerasan. Menjadi akademisi tidak berarti bebas menebar bensin ke atas api. Justru, di tengah gejolak, suara intelektual seharusnya menjadi rem, bukan pedal gas. Mereka yang memilih menjadi provokator dengan menyebut penjarahan “wajar” harus diingatkan: itu bukan keberpihakan pada rakyat, melainkan pengkhianatan pada ilmu pengetahuan dan pada bangsa.
*(Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub)
Artikel Terkait
Warga Minta Tambang Pasir di Belakang SMAN 1 Cimarga Ditindak Tegas, Aksi Viral Bikin Geger!
Penerimaan Pajak Digital Tembus Rp42,53 Triliun di 2025, Tumbuh Pesat!
DPK BTN Prospera Tembus Rp1,5 Triliun di Kuartal III 2025, Tumbuh Pesat!
Airbus Resmi Operasikan Pabrik Baru di China, Genjot Produksi Pesawat A320 untuk Pasaran Global