Pembebasan Tom Lembong: Sinyal Rekonsiliasi Nasional Post-Jokowi

- Senin, 04 Agustus 2025 | 07:20 WIB
Pembebasan Tom Lembong: Sinyal Rekonsiliasi Nasional Post-Jokowi


PRESIDEN Prabowo Subianto memberi kejutan politik ketika memutuskan memberikan abolisi kepada Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan dan mantan anggota tim sukses Anies Baswedan. Tom divonis bersalah oleh pengadilan dalam kasus yang disebut bermuatan politis. Namun Prabowo, dengan hak prerogatifnya sebagai kepala negara, menyatakan bahwa tuduhan jaksa tidak terbukti secara faktual dalam persidangan.

Langkah ini bukan semata soal hukum, tetapi sinyal politik yang sangat penting: Indonesia tengah bergerak menuju rekonsiliasi nasional pasca era Jokowi, yang selama dua periode kepemimpinannya dikenal dengan praktik hukum yang dinilai sering dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan.

Apa yang dilakukan oleh Prabowo ini bukanlah sesuatu yang baru, karena dalam sejarah politik pernah terjadi dibeberapa tempat demi menyelamatkan negara dari perpecahan serta menjadikan hukum sebagai panglima dalam menyelamatkan demokrasi. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh BJ Habibie ketika menjabat sebagai presiden, memberi ruang kepada mereka yang pernah berseberangan dengan orde baru untuk bersama membangun pemerintahan yang demokratis. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Gus Dur bagaimana menyelesaikan masa lalu dengan Rekonsilasi dengan memberi kesempatan setara kepada mereka yang pernah dituduh sebagai bagian dari aktivis yang beraliran kiri.

“Pembebasan Tom Lembong bukan sekadar keputusan hukum, melainkan isyarat bahwa Presiden Prabowo ingin menata ulang lanskap keadilan dan rekonsiliasi nasional.”

Politik Dendam Era Jokowi

Selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, tak sedikit politisi oposisi yang merasakan tajamnya alat negara. Anies Baswedan adalah salah satunya. Kasus Formula E yang tak kunjung jelas ujungnya, tekanan terhadap KPK untuk terus menyidik, dan kriminalisasi politisi kritis menjadi catatan gelap demokrasi era Jokowi.

"Politik Jokowi adalah politik eliminasi: siapa yang tak tunduk akan disingkirkan, bahkan dipenjara."

Namun rakyat melawan. Publik membela Anies dalam Pilpres 2024, dan meski tak menang, suara oposisi tetap signifikan. Prabowo yang saat itu didukung penuh oleh Jokowi, justru kini tampak mengambil jarak.

Isu Pemakzulan Gibran: Jalan Menuju Transisi?

Di tengah dinamika ini, isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, mulai ramai diperbincangkan. Usulan sudah masuk ke DPR. Gibran menjadi Wapres dengan cara kontroversial?"putusan Mahkamah Konstitusi yang diubah demi meloloskannya, dengan pamannya, Anwar Usman, sebagai aktor utama.

Jika pemakzulan ini berlanjut, maka posisi wakil presiden akan kosong, dan Prabowo punya peluang konstitusional menunjuk pendamping baru. Banyak yang berspekulasi: mungkinkah Anies Baswedan, sahabat lama Prabowo yang sempat ia dukung saat Pilgub DKI Jakarta, akan diajak kembali ke dalam satu barisan?

“Rekonsiliasi Prabowo-Anies bisa menjadi jembatan menuju demokrasi yang lebih beradab dan inklusif.”

Jejak Rekonsiliasi Politik di Indonesia

Rekonsiliasi bukan hal baru dalam sejarah politik kita. Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, pernah mengangkat Laksamana Sukardi dari PDIP sebagai menteri meski sebelumnya berseberangan tajam. Presiden SBY bahkan merangkul tokoh-tokoh Golkar saat ia memenangi Pilpres 2004. Jokowi pun?"meski kemudian berubah?"pernah mengajak Prabowo masuk kabinet pasca Pilpres 2019.

Namun semua itu tampak transaksional. Prabowo kini berpotensi menorehkan rekonsiliasi yang lebih otentik, yaitu rekonsiliasi yang berpijak pada penghormatan hukum, penghentian kriminalisasi politik, dan pembukaan ruang baru untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap demokrasi.

“Rekonsiliasi bukan sekadar berbagi kekuasaan, tapi merajut kembali benang kusut bangsa akibat politik dendam.”

Menuju Indonesia Baru

Jika benar Gibran dimakzulkan dan Anies masuk sebagai wapres, Indonesia akan memasuki fase baru: gabungan kekuatan nasionalis, Islam moderat, dan masyarakat sipil progresif. Gabungan ini bisa menjadi motor penggerak demokrasi yang substantif?"bukan hanya prosedural.

“Post-Jokowi adalah momentum koreksi. Prabowo punya peluang besar menulis sejarah sebagai pemimpin rekonsiliator, bukan penerus politik intimidasi.”

Sebuah Renungan

Kebijakan abolisi Tom Lembong membuka pintu diskursus baru: bahwa demokrasi bisa tumbuh dari keberanian mengoreksi masa lalu. Rekonsiliasi bukan kelemahan, tetapi jalan menuju kekuatan sejati sebuah bangsa: konsensus dan keadilan.

Oleh: M. Isa Ansori
Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Anak, Wakil Ketua ICMI Jawa Timur, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya.
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar