Panggung politik pasca-Pilpres yang semula adem ayem kini mulai menunjukkan sinyal gejolak. Manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terang-terangan akan 'membesarkan' Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dibaca sebagai genderang yang bisa memicu keretakan di internal koalisi Prabowo Subianto.
Analis politik sekaligus Ketua Dewan Direktur Great Institute, Syahganda Nainggolan, secara blak-blakan menguliti motif di balik langkah Jokowi tersebut.
Menurutnya, ini bukan sekadar dukungan politik biasa, melainkan cerminan ambisi kekuasaan yang besar dan bahkan berakar dari rasa sakit hati.
Dalam sebuah diskusi di podcast Forum Keadilan TV, Syahganda mengurai benang merah yang menghubungkan manuver Jokowi, sindiran elite Gerindra, dan sikap paradoks Prabowo.
Ambisi 'Keluarga Serakah' dan Motif Sakit Hati Jokowi
Joko Widodo, Presiden Indonesia ke-7, mengatakan PSI akan menjadi besar karena bukan partai keluarga. PSI kini dipimpin anak Jokowi, Kaesang Pangarep. [Antara/Maulana Surya]
Syahganda Nainggolan tak segan melabeli manuver politik Istana sebagai indikasi adanya "keluarga serakah" yang ingin mengamankan cengkeraman kekuasaan pasca-2024.
PSI, yang kini dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, dipandang sebagai kendaraan untuk melanggengkan dinasti politik.
"Jokowi ingin anaknya jadi wapres, satu jadi gubernur (mantu), dan Kaesang tadinya mau diusung jadi gubernur DKI atau Jawa Tengah," ungkap Syahganda, memetakan ambisi keluarga Jokowi.
Lebih dalam, ia menduga ada motif personal yang melatari dukungan penuh Jokowi untuk PSI. Isu lama yang kembali diungkit menjadi pemicunya.
"Jokowi berusaha memperbesar PSI karena sakit hati tidak dibela partai lain terkait isu ijazah palsu," ujarnya.
Namun, Syahganda sangsi PSI bisa menjadi partai besar secara organik. Kekuatannya saat ini dinilai hanya semu, sangat bergantung pada patronase Jokowi. "PSI bisa besar? Karena dia disayang rakyat? Enggak. Karena dia menunggangi Jokowi," tegasnya.
Sinyal Perang Dingin: Sindiran Gerindra dan Sikap Paradoks Prabowo
Upaya Jokowi membesarkan PSI ternyata tak disambut dengan karpet merah oleh semua anggota koalisi. Justru, sinyal penolakan halus datang dari internal partai pimpinan Prabowo Subianto, Gerindra.
Syahganda menyoroti komentar pedas Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, terkait perubahan logo PSI.
"Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra menyindir perubahan lambang PSI dari bunga mawar ke gajah, ini namanya guyonan yang mendiscorate," kata Syahganda.
Sindiran tersebut, menurutnya, adalah sinyal jelas bahwa Gerindra tidak sepenuhnya nyaman dan bisa menjadi awal "perang dingin" di dalam koalisi.
Anehnya, di tengah sindiran dari orang terdekatnya, Prabowo Subianto justru menunjukkan gestur yang sangat berbeda. Kunjungan atau 'sowan' Prabowo ke Jokowi di Solo dibaca Syahganda sebagai bagian dari etika politik tingkat tinggi.
"Prabowo itu politik etis dia sebagai presiden," jelasnya, menyamakan sikap Prabowo dengan tradisi penghormatan pada pemimpin terdahulu. Paradoks ini menarik: Prabowo menjaga etika di level puncak, namun 'prajuritnya' di bawah sudah mulai melontarkan sindiran tajam.
Ancaman 'Indonesia Gelap' dan Potensi Retaknya Duet Jokowi-Prabowo
Hubungan Prabowo dan Jokowi. (Instagram/prabowo)
Dinamika ini diperkirakan dapat memicu pergeseran loyalitas dan potensi keretakan hubungan Jokowi dan Prabowo di masa depan. Syahganda melihat fenomena orang-orang yang dulu setia pada Jokowi, kini mulai mengambil jarak.
Kondisi ini, lanjutnya, berkelindan dengan fakta "Indonesia Gelap" yang menjadi temuan riset Great Institute. Fenomena ini, menurutnya, muncul secara organik akibat sulitnya lapangan kerja, korupsi yang merajalela, dan lambatnya reformasi birokrasi.
Ia bahkan mengutip pandangan Prabowo sendiri yang menyebut "Indonesia Gelap" digerakkan oleh koruptor. Syahganda sepakat, dengan tambahan analisis bahwa barisan ini bisa jadi ditunggangi oleh para koruptor yang sakit hati asetnya disita negara. Dinamika elite yang mulai memanas ini menjadi cermin dari persoalan yang lebih besar di tingkat akar rumput.
Sumber: suara
Foto: Ketua Dewan Direktur Great Institute, Syahganda Nainggolan di Podcast Keadilan TV. [YouTube]
Artikel Terkait
Hotman Paris Murka Lihat Pengacara Jokowi Duduk di Belakang Saat Sidang: Tidak Ada Harga Diri!
Sinyal Keras dari Prabowo? Said Didu Ungkap Kerisauan Jokowi saat Riza Chalid Mulai Disentuh
Kemlu Terus Pantau Eks Marinir TNI yang Jadi Tentara Bayaran Rusia
BEM SI Telah Disusupi, UGM dan Undip Cabut dari Aliansi