Mamad Si Benteng Mini Warga Israel

- Rabu, 25 Juni 2025 | 07:10 WIB
Mamad Si Benteng Mini Warga Israel



   
OLEH: AHMADIE THAHA
PADA Jumat pagi, 13 Juni, langit Tel Aviv masih biru. Suasana tenang, jika definisi “tenang” adalah langit yang segera dilubangi rudal-rudal berhulu ledak. Israel akhirnya melancarkan serangan militer terhadap titik-titik yang diidentifikasi sebagai pusat pembuatan nuklir Iran.

Ini bukan langkah mendadak, melainkan babak baru dari perang yang sudah lama mereka siapkan. Langkah ini mereka sebut sebagai “pertahanan preventif” -- istilah diplomatik dari strategi “menyerang duluan supaya bisa mengaku diserang belakangan.”

Tentu saja, Iran tidak tinggal diam. Kali ini, mereka punya alasan -- bukan cuma untuk membalas, tapi sekalian menggenapi niat melenyapkan Israel dari peta. Rudal-rudal balistik Iran meluncur bak kawanan kerlap-kerlip dari jarak hampir 2.000 kilometer.




Serangan balasan Iran langsung menyasar dan menghancurkan fasilitas militer dan pusat vital di Israel. Tapi seperti biasa, ada yang menghantam rumah warga sipil. Terutama, perumahan “baru” yang dibangun di atas tanah yang dirampas dari warga Palestina.

Warga Israel sendiri tampaknya sudah sejak lama tahu bahwa serangan ini akan datang. Bahkan mungkin, sebelum Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menekan tombol “launch,” para arsitek telah lebih dulu menekan tombol “autocad.”

Maka sejak tahun 1992, negara kecil itu mewajibkan pembangunan Mamad, singkatan dari Merkaz Mugan Dirati atau “Ruang Perlindungan Apartemen”, di setiap rumah baru. Bentuknya berupa kamar beton setebal dendam geopolitik yang tak kunjung reda.

Di hari biasa, ia bisa jadi ruang kerja, kamar tidur tamu, atau tempat main anak. Tapi saat sirene meraung dan langit berubah menjadi layar film perang, Mamad menjadi Noah’s Ark versi arsitektur modern: satu ruang yang diharapkan menyelamatkan satu keluarga.

Ambillah contoh Levi Ben-Haim, warga pinggiran Ashkelon. Ia sudah dua pekan bertahan di dalam Mamad rumahnya bersama istri, dua anak, seekor kucing, dan satu koper berisi mimpi liburan ke Eropa yang lagi-lagi harus ditunda.

Ketika tanda-tanda perang mulai tampak, Levi langsung melengkapi ruang itu dengan semua kebutuhan dasar: air, makanan kering, senter, radio darurat, dan tentu saja, Wi-Fi -- karena apalah artinya selamat dari misil jika tak bisa mengunggah story Instagram?

Selimut darurat, tisu basah, dan kopi instan ikut masuk daftar. Di sudut ruangan, kulkas kecil berdiri tenang di samping tumpukan kaleng hummus dan biskuit yang masa kedaluwarsanya bisa bersaing dengan lamanya konflik ini berlangsung.

Ruang perlindungan warga menjadi wajib dibangun setelah pengalaman traumatis dalam Perang Teluk 1991, ketika rudal Scud Irak menghantam wilayah Israel dan para warga kesulitan mencapai tempat perlindungan bersama dengan cepat, sebelum serangan tiba.

Mamak (Merkaz Mugan Komati), nama perlindungan publik ini kalau itu, terletak di lantai dasar apartemen. Namun, ia seringkali sulit diakses tepat waktu. Kadang terkunci saat paling dibutuhkan, atau lebih tragis lagi: hancur duluan sebelum bisa menyelamatkan siapa pun.

Lalu muncullah Mamad: ruang perlindungan pribadi dalam rumah, dibangun dengan dinding beton bertulang setebal 20 sampai 30 sentimeter. Pintu bajanya dirancang tahan ledakan. Jendelanya bisa dibuka, tapi dilengkapi penutup logam kedap udara.

Sistem ventilasinya dirancang bisa menyaring gas kimia dan biologis, dengan kipas manual atau otomatis. Atap dan lantainya sekuat dindingnya. Tidak ada celah lemah jika dibangun sesuai standar. Sebuah bunker pribadi, tersembunyi dalam arsitektur sehari-hari.

Saat tidak sedang diserang, Mamad bisa berfungsi biasa. Banyak keluarga menghiasinya seperti kamar lain dalam rumah. Tapi dalam waktu-waktu genting, ia berubah menjadi ruang penentu: antara hidup dan hancur bersama reruntuhan rumah.

Keampuhan Mamad sudah terbukti. Dalam serangan roket dari Gaza tahun 2023, sebuah rumah dua lantai di Ashkelon hancur total. Tapi Mamad di lantai dasar tetap utuh. Semua anggota keluarga yang berlindung di dalamnya selamat.

Meski demikian, tak semua warga menyambut Mamad tanpa suara. Kritik pun muncul. Terutama soal biaya tambahan bagi keluarga menengah ke bawah. Tapi secara umum, Mamad tetap dianggap salah satu inovasi pertahanan sipil efektif di era modern.

Jika dibandingkan dengan sistem pertahanan sipil negara lain, Mamad terbilang unik. Korea Selatan, misalnya, punya jaringan stasiun bawah tanah yang dapat difungsikan sebagai tempat perlindungan. Jepang membangun rumah tahan gempa, tapi tak dirancang menahan misil.

Swiss bahkan punya bunker pribadi di tiap rumah sejak Perang Dingin. Gaza? Mereka hanya punya doa… dan mungkin ruang kosong di bawah tangga. Di masa silam, pertahanan sipil hanya soal bersembunyi di gua terdalam dan berharap mammoth tak ikut masuk.

Mamad adalah buah dari insting bertahan hidup yang dipadu kepanikan geopolitik dan teknologi bangunan modern. Ia mencerminkan mentalitas masyarakat yang menjadikan rumah bukan sekadar tempat pulang, tapi benteng terakhir dari dunia luar yang brutal.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tak punya Mamad. Tapi kita punya kolong ranjang, lemari bawah tangga, dan doa ibu. Kita juga punya 17 ribu pulau yang bisa dijadikan tempat ngungsi -- asal tidak tergenang banjir atau longsor buatan sendiri.

Bencana yang kita hadapi juga berbeda. Bukan misil dari negara tetangga atau dari pusat-pusat sengketa di AS, Eropa, dan Timur Tengah, tapi banjir dari selokan sendiri, longsor dari bukit akibat reklamasi dan tambang, atau gas melon dari regulator bocor.

Pemerintah pun tidak merasa perlu mewajibkan rumah tahan rudal. Tapi warga kita lebih cerdas secara spiritual: beberapa rumah bahkan sudah punya “kamar aman” untuk menyembunyikan anak dari guru privat atau suami dari notifikasi Shopee sang istri.

Mamad boleh jadi simbol ketahanan, tapi juga penanda bahwa normalisasi konflik telah berlangsung terlalu lama. Negara yang bangga karena setiap rumah punya bunker, sejatinya bukan negara kuat, tapi negara yang terus-menerus bersiap untuk hancur.

Ironisnya, Israel menjadikan Mamad sebagai bukti kecanggihan sipilnya. Tapi bukankah lebih unggul negara yang tak perlu Mamad sama sekali? Negara di mana anak-anak tak hafal jenis sirene dari suara, dan tak terbiasa berlomba masuk bunker terbirit-birit?

Mamad memang mungkin menyelamatkan nyawa. Tapi jika mereka terlalu lama tinggal di dalamnya, mereka bisa lupa rasanya hidup di luar sana. Kamar itu juga mungkin tahan ledakan, tapi tak bisa melindungi diri dari trauma, dendam, atau kebijakan luar negeri yang tak waras.

Maka, barangkali yang harus dibangun bukan hanya bunker dari beton dan lempengan baja yang tebal, tapi juga akal sehat dan hati nurani. Dua hal yang, sayangnya, belum ada pabriknya.



(Penulis adalah Wartawan Senior)

Komentar