Penyakit Kulit Jokowi Semakin Parah: Ia Harus Berobat dan Bertobat!

- Minggu, 22 Juni 2025 | 17:55 WIB
Penyakit Kulit Jokowi Semakin Parah: Ia Harus Berobat dan Bertobat!


Penyakit Kulit Jokowi Semakin Parah: Ia Harus Berobat dan Bertobat!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pak Jokowi kini bukan lagi Presiden. Istana sudah tak lagi jadi rumah tinggalnya, tapi bekas pijakannya masih membekas di setiap sudut kekuasaan. 


Ia seperti tamu yang sudah pamit dari pesta, tapi aroma parfumnya masih tertinggal di sofa, di meja makan, bahkan di gelas-gelas kosong yang belum dicuci. 


Kendati tidak lagi memegang tongkat komando, bayangannya tetap bergentayangan di layar politik: dalam rupa proyek, dalam suara anak, dan dalam sorot mata menantu yang kini ikut berpidato di panggung negara.


Ia hidup dalam gelimang harta yang tak bertepi, pensiun dengan kehormatan negara, tinggal di lingkungan dengan sanitasi super terawasi, fasilitas medis kelas wahid, dan petugas kebersihan yang lebih sigap dari wartawan istana. 


Tapi penyakit kulit itu datang juga. Gatalnya tidak wajar. Kemerahannya tak kunjung padam. 


Obat-obatan mahal dari luar negeri, salep racikan dokter kepresidenan, bahkan terapi dari ahli yang pernah menyembuhkan pangeran Arab—semuanya mandul. 


Karena penyakit ini bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Dari hati yang gundah. 


Dari batin yang resah. Dari jiwa yang dihantui oleh tapak-tapak kesalahan yang dulu dianggap strategi.


Ia tidak sedang diserang alergi, bukan pula kutu dari selimut hotel bintang lima. Ini penyakit karena kelelahan menahan beban sejarah. 


Beban janji yang tak tuntas ditepati. Beban kekuasaan yang diwariskan lewat darah, bukan lewat mandat rakyat. 


Beban pembangunan yang lebih sering menjadi pajangan visual, ketimbang memperbaiki nasib buruh, petani, dan guru honorer yang bahkan tak sempat bermimpi ke Ibu Kota Nusantara.


Orang-orang di sekelilingnya masih menyebutnya “Bapak”. Ada yang tulus, ada pula yang cuma berharap proyek dan posisi. 


Di kamar rawat, televisi dinyalakan, memperlihatkan para elite yang masih menyebut namanya dalam setiap konferensi pers, seakan ia belum benar-benar pergi. Tapi justru karena belum benar-benar pergi, luka itu makin dalam. 


Rasa bersalah yang ditahan lama-lama berubah jadi bisul, lalu meletus jadi luka kulit yang tak sembuh-sembuh.


Pak Jokowi harus berobat. Tapi ini bukan urusan medis semata. Ini penyakit yang butuh perenungan. 


Ia harus menengok ke dalam. Ke tahun-tahun saat rakyat bersorak tapi hatinya sendiri tahu ia telah menyimpang. 


Ke saat ia memilih diam ketika hukum dipermainkan oleh loyalisnya. Ke detik-detik ia menyulap demokrasi menjadi dinasti, tapi tetap mengaku sebagai pemimpin rakyat biasa.


Setelah berobat, ia harus bertobat. Bukan untuk dunia, tapi untuk dirinya sendiri. Tobat yang diam-diam, yang dalam, yang tak butuh panggung. 


Seperti petani yang sadar telah menebang terlalu banyak pohon, lalu menanam satu bibit kecil di belakang rumah. 


Seperti nelayan yang dulu menebar jala di wilayah terlarang, lalu memilih menyepi di pantai sambil memandangi laut dengan mata sayu.


Karena jika tidak, penyakit ini bukan hanya akan memakan kulit, tapi akan menjalar jadi sejarah yang mengelupas: sejarah tentang seorang pemimpin yang pernah dicintai, tapi tak tahu kapan harus berhenti.


👇👇



Sumber: FusilatNews

Komentar