Jokowi bukan lagi menghadapi sesama politisi, melainkan instrumen yang digerakkan logika dan data.
Ironisnya, alat-alat ini tak punya urat takut. Tak kenal kompromi. Tidak peduli jabatan, nama besar, atau cerita lama. Mereka hanya mengenal satu hal: kebenaran.
Namun, dalam menghadapi tekanan ini, muncul manuver politis beraroma lama: rekonsiliasi.
Ada sinyal dari tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie—kakak kelas Anwar Usman, adik ipar Jokowi—yang mulai menyuarakan pendekatan “restoratif justice.”
Namun publik tahu, ini bukan sekadar perkara pribadi. Ini soal kebohongan pada bangsa.
Soal kerugian sistemik dan moral yang ditanggung oleh seluruh rakyat.
Rekonsiliasi untuk Jokowi? Itu seperti menawar luka bangsa dengan plester politik. Mustahil dapat diterima nalar keadilan.
Karena yang menjadi korban bukan cuma tetangganya di Solo, tapi tanah, air, udara, samudera, hukum, pendidikan, budaya, dan masa depan anak-anak negeri ini.
Jokowi telah menyisakan residu “Revolusi Mental” yang malah mendistorsi nalar dan moralitas publik.
Dalam satu dekade, bangsa ini bukan saja stagnan, tapi terkikis dalam integritas dan nalar bernegara.
Maka pertanyaannya kini: apakah adagium suci dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945—Indonesia adalah negara hukum—telah diamandemen diam-diam menjadi Indonesia adalah negara voting?
Jika ya, maka keadilan tak lebih dari suara mayoritas. Dan bila begitu, bersiaplah kita menyambut era di mana kebohongan bisa disahkan lewat suara terbanyak, bukan kebenaran.***
Artikel Terkait
Roy Suryo Klaim Aturan Ijazah KPU Dirancang Khusus untuk Gibran, Benarkah?
Sammy Notaslimboy Sindir Ijazah Asli di Depan Jokowi, Punchline-nya Malah Anyep dan Bikin Heboh
Jokowi Berubah Raut Wajahnya Saat Ditanya Soal Utang Whoosh, Ini Fakta di Baliknya!
Bos Danantara Bakal Evaluasi Whoosh! Purbaya Ogah Bayar Utang, Masa Depan KRL Cepat Ini Dipertaruhkan