Balada Bayar, Bayar, Bayar

- Senin, 24 Februari 2025 | 08:30 WIB
Balada Bayar, Bayar, Bayar




OLEH: AHMADIE THAHA

   

DI suatu negeri yang katanya demokratis, ada satu lagu yang begitu kuat hingga harus ditarik dari peredaran hanya dalam hitungan jam. Judulnya? “Bayar, Bayar, Bayar.” Lagu punk asal Purbalingga ini awalnya hanya sekadar satire, nyanyian kecil yang mencubit realitas jalanan.


Tapi siapa sangka, gigitannya ternyata cukup tajam untuk membuat sebagian orang tidak nyaman. Liriknya yang menohok seolah mengandung kekuatan supranatural yang bisa mengancam stabilitas sebuah institusi besar, bahkan mungkin stabilitas nasional.



Atau setidaknya, itulah kesan yang ditinggalkan setelah para personel band Sukatani buru-buru melakukan klarifikasi dan permintaan maaf. Jika ada kompetisi “Lagu yang Paling Cepat Menghilang dari Internet,” lalu “Bayar, Bayar, Bayar” bisa jadi juara bertahan.


Di platform Spotify? Kosong. Media sosial? Sunyi. Bahkan, para penggemarnya diminta untuk menghapus rekaman apa pun. Seakan-akan lagu ini sejenis virus komputer yang bisa merusak sistem jika terlalu banyak didengarkan.


Momen permintaan maaf band Sukatani hampir terasa seperti bagian dari ritual: vokalis punk, kini dengan wajah tanpa topeng, mengucapkan permohonan maaf di depan kamera, meyakinkan semua orang bahwa mereka tidak pernah berniat menyinggung institusi tertentu.


Lagu itu hanya ditujukan pada oknum, katanya. Ah, oknum! Kata ajaib yang bisa mengubah kritik menjadi sesuatu yang lebih dapat diterima. Mirip dengan seseorang yang berkata, “Saya tidak benci sayur, hanya tidak suka setiap kali ada di piring saya.”


Tapi mari kita berpikir positif. Mungkin Sukatani memang benar-benar menyesal. Mungkin mereka mengalami pencerahan mendadak bahwa kritik yang terlalu tajam bisa membuat hidup lebih sulit. Atau mungkin mereka menghindari album berikutnya berjudul “Sidang dan Denda.”


Yang menarik, pernyataan resmi dari Polri: kami tidak antikritik. Bahkan, mereka terbuka terhadap masukan. Pernyataan ini luar biasa. Kalau memang begitu, seharusnya tidak ada masalah dengan lagu itu, bukan? Tapi kenyataan berkata lain: lagu itu hilang, band itu meminta maaf.


Dan, entah kenapa yang memberi kritik justru yang harus menghilang duluan. Seperti seseorang yang berkata, “Silakan kritik saya,” lalu buru-buru menghapus semua komentar di Instagram. Anda lihat, saat klarifikasi, wajah mereka yang tanpa bertopeng tampak gemetar.


Tapi kisah ini tidak berhenti di situ. Ada plot twist yang lebih dramatis: vokalis Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti, ternyata seorang guru di sebuah SDIT. Setelah identitasnya terbuka akibat ritual permintaan maaf yang “tanpa paksaan” itu, ia pun konon dipecat dari sekolah.


Halaman:

Komentar