Mengusir Rocky dan Refly: Potret Kebebasan Berpendapat di Era Jokowi

- Selasa, 12 September 2023 | 11:31 WIB
Mengusir Rocky dan Refly: Potret Kebebasan Berpendapat di Era Jokowi


Kejadian mencolok lainnya juga terjadi menjelang Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November tahun lalu. Diskusi internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Sanur dibubarkan orang-orang yang mengaku pecalang atau polisi adat. Ada pula pembubaran demonstrasi mahasiswa oleh polisi di sejumlah kota, termasuk penutupan kampus sebelum diskusi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana menjelang perhelatan tersebut. 


Daftar kejadian itu belum termasuk berbagai pengusiran, intimidasi, dan pembubaran acara-acara akademik di lingkungan kampus yang marak beberapa tahun terakhir. Tak mengherankan jika sejumlah lembaga memberi ponten merah terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Data Riset tahunan The Varieties of Democracy Institute (V-Dem), lembaga pengkajian politik dan demokrasi global asal Swedia, menggambarkan indeks demokrasi Indonesia terus merosot sepanjang lima tahun terakhir. Bahkan, indeks demokrasi di Indonesia pada 2022 ada di bawah skor indeks 1999.


Kemudian, Indeks Demokrasi 2022 yang disusun The Economist Intelligence Unit (EIU) juga menyatakan indeks demokrasi Indonesia tak berubah dibanding pada 2021, yakni 6,71. Skor tersebut, berdasarkan pengkategorian EIU menempatkan Indonesia pada kelompok negara demokrasi yang cacat. Outlook demokrasi yang dirilis Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) menguatkan berbagai penilaian itu: adanya pelemahan masyarakat sipil secara sistematis yang diikuti pembatasan kebebasan berekspresi. 


Penyebab utama hal tersebut adalah ulah pemerintah sendiri. Konstitusi telah menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak asasi setiap orang, namun pemerintah pula yang membuyarkannya. Misalnya, dengan mempertahankan pasal-pasal bermasalah seperti dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Bisa juga dengan membiarkan kelompok anti-demokrasi yang pro-pemerintah leluasa bergerak, lalu secara sengaja atau diam-diam mengambil manfaatnya. 


Sungguh tak bermartabat jika penguasa menggunakan mereka sebagai kuasi demi membungkam kritik. (*)

Halaman:

Komentar