Dalam semangat Pancasila dan konstitusional, “musyawarah untuk mufakat” dikenal. Karenanya, di masa Presiden SBY, perundingan Aceh dan Jakarta (Pemerintah Pusat) dilakukan.
Sayangnya untuk Papua, SBY terkesan mempraktikkan pendekatan rasialisme karena di Aceh bisa, sementara di Papua tidak dilakukan. Sementara Jokowi, niat sedikitpun untuk mendorong dialog/perundingan Jakarta-Papua tidak sama sekali.
Sesungguhnya, jika benar negara ini adalah negara hukum, sebenarnya Jokowi patut diduga melanggar Pancasila dan konstitusi dalam hal tidak mau mewujudkan Papua tanah damai yang sudah, mestinya dilakukan melalui dialog/perundingan tersebut.
Pertanyaannya, apakah Komnas HAM berani mengumumkan adanya tindakan pelanggaran HAM? Karena jika Komnas HAM menentukan hal itu pun, apakah Kejagung berani dan objektif secara hukum untuk melanjutkan?
Sekalipun presiden berjuta kali ke Papua, tapi jika tidak mengedepankan pentingnya penyelesaian masalah di Papua melalui dialog/perundingan, masalah di Papua akan tetap terus ada.
Riset LIPI (sebelum jadi BRIN) merumuskan 4 akar masalah di Papua. Masalah itu masih tetap sama dan terus terjadi. Negara masih mempraktikkan rasialisme terhadap rumpun melanesia. Menteri saja, tidak ada rumpun melanesia. Dari dulu sampai saat ini, presiden dan wakil presiden selalu satu rumpun.
Jokowi Jika Peduli Papua, Ukuran atau Bentuknya “Gelar Perundingan/Dialog”
Cara membuktikan atau mengukur apakah benar Jokowi peduli terhadap Papua, dapat dilihat dengan pertanyaan, “Benarkah presiden akan gelar perundingan untuk mewujudkan Papua tanah damai atau tidak?”.
Selain itu, kita juga pernah melihat janji-janji selesaikan masalah HAM, tapi sampai saat ini hasilnya tidak ada wujud. Bahkan kasus Paniai berdarah saja, pelakunya bebas. Kejagung hanya menentukan satu pelaku, yang tentu menggugurkan aspek HAM berat dari segi unsur.
Atau, terhadap pembebasan Pilot Mark Marthens yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). TPN/OPM mendesak gelar perundingan, sementara presiden mengabaikannya hingga berbulan-bulan.
Banyak sekali oknum-oknum di nasional menyebut “Tidak ada dialog dengan separatis”. Padahal, tidak ada perdamaian yang terjadi tanpa perundingan/dialog.
Praktik dungu oleh oknum-oknum di publik, sementara Pancasila dan konstitusi mensyaratkan itu, dan Aceh bisa terwujud.
Jadi, Jokowi berjuta kali ke Papua pun tidak ada manfaat sama sekali bagi orang Papua. Dan tentu lebih bermanfaat saat Gus Dur jadi presiden. Hanya sekali ke Papua, kebijakan Gus Dur memberikan manfaat langsung selama kepemimpinannya.
Saat Gus Dur, satu tujuan negara terpenuhi, yakni melindungi segenap warga negara. Tidak ada yang dapat diharapkan dari aspek kemanusiaan sebagai prinsip bernegara dari Jokowi, kecuali “perundingan/dialog digelar”.
*) Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan
Artikel Terkait
Asrama Putri Ponpes di Situbondo Ambruk, 1 Santriwati Tewas dan Belasan Luka-luka
Mahfud MD dan Tantangannya ke KPK: Membedah Proyek Kereta Cepat Whoosh yang Kontroversial
Sidang Etik MKD Dimulai: 5 Anggota DPR Nonaktif Ahmad Sahroni Dkk Hadapi Konsekuensi Aksi Unjuk Rasa
Menkeu Purbaya Pamer Topi 8%: Sinyal Kuat Wujudkan Target Ekonomi Prabowo