Oleh: Marthen Goo*
INDONESIA itu sebenarnya negara dengan praktik pelaksanaan pemerintahan atau sistem pemerintahannya dikenal dengan presidensial. Sehingga, pelaksanaan pemerintahan bisa berjalan baik atau tidak, diukur dari kemampuan seorang presiden.
Jika kemampuan presiden tidak memenuhi standar, sudah dipastikan pelaksanaan pemerintahannya juga bermasalah. Bahkan tujuan dari bernegara tidak akan terjadi. Sementara sistem dan dinamika politik nasional berpihak mayoritas.
Dalam menutupi kegagalan, para pendukung fanatik seorang presiden atau bahkan kelompok minus pengetahuan biasanya akan mencari dalil dengan menyebutkan bahwa tidak gampang urus rakyat jutaan orang seperti Indonesia.
Lalu candaan iseng, “Apakah karena luas dan banyak terus harus dikedepankan yang namanya pemekaran negara baru agar rakyatnya gampang dibangun karena sistem presidensial? Atau ubah federal?”
Dalam sebuah dialog bersama Akbar Faizal, Prof Jimly menyebutkan bahwa China dalam 50 tahun bisa berkembang pesat dan maju. Tentu pernyataan yang menjelaskan berbanding terbalik dengan di Indonesia.
Pernyataan tersebut menggugurkan berbagai argumen pembelaan dari pendukung fanatik tersebut. Belum lagi, dari aspek SDA, justru mestinya Indonesia bisa jauh lebih maju dari China. Sekali lagi, ini presidensial.
Dalam memaknai presidensial tersebut, saat Gus Dur menjadi presiden, dalam perspektif Papua, Gus Dur mampu menggunakan kewenangannya dengan menjadi daerah yang aman dan damai. Padahal, saat itu Gus Dur hanya sekali ke Papua.
Karena dalam perspektif konstitusi, bukan soal presiden jalan-jalan, tapi soal kebijakan yang melindungi dan menyelamatkan warga negara. Itu juga salah-satu tujuan dalam bernegara.
Jokowi sudah belasan kali ke Papua, “Di mana Papua yang damai dan aman itu? Apakah ini memberikan gambaran bahwa berjuta kali ke Papua pun, Papua begitu-begitu saja dan masalah terus ada? Kenapa Jokowi tidak bisa meniru Gus Dur? Apakah karena soal kemampuan, soal nurani, soal rasa, soal keberpihakan, atau soal motif?”
Jokowi ke Papua Tidak Menyelesaikan Masalah
Apa saja sebenarnya masalah-masalah yang terjadi walau Jokowi ke Papua berkali-kali? Tentu ini pertanyaan menarik untuk membandingkan Jokowi dan Gus Dur.
Masalahnya adalah (1) Pelanggaran HAM; (2) Pendudukan; (3) Perubahan UU Otonomi Khusus yang isinya sentralistik; (4) Pasukan dikirim terus (pendekatan militer); (5) Masih terus ada pengungsian; (6) Masyarakat adat makin kehilangan tanah adat dan lainnya.
Tentu itu berbanding terbalik dengan Gus Dur. Saat Gus Dur jadi presiden, pelanggaran HAM kemudian terhenti, demokrasi dibuka, masyarakat adat mendapatkan ruang dan hak-hak mereka.
Gus Dur mengedepankan pendekatan kebudayaan dan kemanusiaan, bukan pendekatan militer, bukan pendudukan dan pemekaran. Bahkan lebih parah, UU otonomi khusus dibuat sentralistik, padahal itu kebencian warga negara maka lahir-lah “reformasi 1998”.
Artikel Terkait
Asrama Putri Ponpes di Situbondo Ambruk, 1 Santriwati Tewas dan Belasan Luka-luka
Mahfud MD dan Tantangannya ke KPK: Membedah Proyek Kereta Cepat Whoosh yang Kontroversial
Sidang Etik MKD Dimulai: 5 Anggota DPR Nonaktif Ahmad Sahroni Dkk Hadapi Konsekuensi Aksi Unjuk Rasa
Menkeu Purbaya Pamer Topi 8%: Sinyal Kuat Wujudkan Target Ekonomi Prabowo