Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, memaparkan bahwa kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan mendalam. Praktek suap ini bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, menggelar pertemuan dengan enam Kepala UPT Wilayah I–VI di sebuah kafe di Pekanbaru.
Dalam pertemuan tersebut, dibahas kesanggupan memberikan fee sebagai imbalan atas penambahan anggaran tahun 2025. KPK menemukan fakta bahwa anggaran program pembangunan jalan dan jembatan mengalami lonjakan signifikan sebesar 147 persen, dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Awalnya, fee yang disepakati adalah 2,5 persen dari nilai proyek. Namun, Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, yang diduga mewakili Abdul Wahid, menolak besaran tersebut dan meminta peningkatan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.
Tekanan Jabatan dan Istilah 'Jatah Preman'
Menurut keterangan KPK, Abdul Wahid menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaannya dipenuhi. Melalui Arief, gubernur mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut. Di kalangan internal dinas, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'.
KPK telah menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemprov Riau Tahun Anggaran 2025. Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.
Artikel Terkait
Partai Golkar Terancam Jeblok di Pemilu 2024? Pimpinan Bahlil & Sarmuji Dituding Pengkhianat
Kejanggalan Kasus Narkoba Pamulang: 4 Koper Sabu Bolak-Balik Dibawa Polisi
Megawati Perintahkan Kader PDIP Bantu Korban Bencana: Peran Strategis Baguna
Peran Dasco 2025: Jembatan Politik Megawati hingga Abu Bakar Baasyir untuk Stabilitas Indonesia