Alissa Wahid juga mengurai pengalamannya saat bertemu para pejabat dan wakil rakyat. Kebanyakan mereka menganggap rakyat sebagai kumpulan orang lemah, sebagian lagi tidak tahu kepentingan bangsa dan negara.
“(Ada) yang menganggap rakyat boleh dikorbankan. (Ada) yang menganggap rakyat tidak tahu diuntung sudah dapat ganti rugi besar. Ganti rugi,” tekannya.
Pengalaman di Wadas
Penjahit Gusdurian ini turut berbagi pengalaman saat dirinya ke Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Di sana dia pernah bertanya kepada mereka yang menerima tanahnya diambil negara dengan ganti rugi.
Jawaban warga terbilang mencengangkan. Sebab, para pejabat meyakinkan warga bahwa semua tanah di Wadas sebenarnya adalah milik negara, untuk itu tanah tersebut akan diambil untuk pembangunan proyek. Padahal di satu sisi, warga memiliki sertifikat kepemilikan tanah yang sah.
“Kata bapak-bapak itu, rakyat itu nyewa kok. Nyatanya kami kan tiap tahun mbayar pajak. Itu kan biaya sewa supaya bisa memakai tanahnya,” ujar Alissa menirukan ucapan warga yang ditemuinya saat di Wadas.
Menurutnya, para pejabat menganggap urusan tanah hanya urusan harga yang lebih tinggi. Bukan soal jatidiri, sejarah, dan penghidupan sang rakyat.
“Selama rakyat dipandang rendah dan boleh dikorbankan atas nama pembangunan yang berpihak hanya pada keleluasaan bisnis, maka selama itu pula kisah-kisah tragis seperti Pubabu, Pohuwato, Kendeng, Rembang, Sukolilo Kendal, Lampung, dan Rempang akan terus terulang,” tutupnya
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Jaksa Agung Mutasi Nurcahyo ke Kajati Kalteng, Ini Profil dan Kasus Besar Nadiem yang Pernah Ditanganinya
Polisi Gadungan Asal Magetan Tipu Perempuan Tuban Rp 170 Juta Lewat Modus Pacaran, Ini Barang Buktinya
Perbedaan Mendasar Kasus Ira Puspadewi dan Tom Lembong: Analisis Lengkap
Muhammad Kerry Bantah Ayahnya Riza Chalid Terlibat Korupsi Pertamina Rp285 Triliun