GELORA.ME -Pembangunan proyek Rempang Eco City beberapa hari terakhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Hal itu dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terkait fakta-fakta yang belum terungkap ke publik, sehingga rentan beredarnya hoaks atau berita bohong berbau SARA.
Bahkan Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pertanahan, Dr. Tjahjo Arianto menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap, bukan tanah adat.
"Maka harus dibedakan, di situ, Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," kata Tjahjo kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/9).
Termasuk soal tanah ulayat atau adat, Tjahjo menjelaskan belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.
"Kalau aturan yang tegas belum ada, hakikatnya kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal di situ turun menurun, itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan dicek kembali hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap. Ini tanggung jawab Walikota Batam," tegasnya.
Dia menambahkan bahwa tidak ada istilah tanah milik negara, adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara. Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah di bawah pengelolaan BP Batam. Ciri-cirinya, BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
"Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerja sama dengan investor, maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam," jelas dia.
Tjahjo menyebut pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah. Menurutnya kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU.
"Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua di tempat lain," imbuhnya.
Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam. lanjut dia, harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Rismon Sianipar Klaim Prabowo Tahu Soal Ijazah Gibran: Fakta dan Perkembangan Terbaru
Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Whoosh: DPR Dukung KPK Usut Tuntas
Wakil Wali Kota Bandung Erwin Bantah OTT Kejaksaan: Ini Faktanya
MKD DPR Tolak Pengunduran Diri Rahayu Saraswati, Tetap Jadi Anggota Dewan