Transparansi Hukum dalam Proyek Kereta Cepat Whoosh: Analisis Krisis dan Solusi
Oleh: Firman Tendry Masengi
Transparansi sebagai Imperatif Konstitusional: Krisis Identitas Negara
Dalam sistem hukum Indonesia, transparansi merupakan imperatif konstitusional yang dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak atas keterbukaan informasi publik menjadi prasyarat fundamental agar hukum tidak menjadi privilege kekuasaan semata.
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mewajibkan setiap badan publik untuk membuka akses informasi demi akuntabilitas. Prinsip ini juga berfungsi sebagai instrumen preventif terhadap abuse of power.
Namun dalam praktiknya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh justru menjadi antitesis prinsip transparansi hukum. Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, KCJB telah menunjukkan kegagalan tata kelola negara dengan:
- Membengkaknya biaya proyek dari 6 miliar dolar AS menjadi 7,2 miliar dolar AS
- Kaburnya jaminan fiskal pemerintah
- Terjadinya dugaan mark-up dan kolusi dalam pengadaan
Kasus KCJB bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan indikasi pelanggaran struktural terhadap prinsip konstitusional transparansi hukum.
Studi Kasus Kereta Cepat Whoosh: Dari Ambisi Infrastruktur Menuju Skandal Fiskal
Proyek KCJB diluncurkan tahun 2015 dengan target menghubungkan Jakarta dan Bandung dalam 40 menit melalui kecepatan 350 km/jam. Namun sejak awal, proyek ini sarat kontroversi hukum.
Pemilihan mitra strategis melalui skema konsorsium terbatas yang melibatkan entitas China dilakukan tanpa mekanisme tender terbuka, bertentangan dengan Perpres Nomor 107 Tahun 2015 yang mengatur asas efisiensi dan akuntabilitas.
Klaim pembiayaan tanpa beban APBN terbukti ilusif. Melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah akhirnya memberikan jaminan fiskal melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) terhadap kewajiban PT Kereta Api Indonesia (KAI). Mekanisme ini berpotensi melanggar Pasal 23 UUD 1945 tentang pengelolaan keuangan negara yang harus terbuka dan bertanggung jawab.
Investigasi publik juga mengungkap adanya potensi mark-up biaya konstruksi hingga 1,2 miliar dolar AS dan konflik kepentingan antara KAI, PT Wijaya Karya (WIKA), dan pejabat kementerian terkait. Transparansi hukum pun runtuh ketika Pasal 5 UU KIP yang mewajibkan badan publik memberikan informasi secara terbuka gagal dijalankan.
Tumpang Tindih Regulasi dan Kerapuhan Legitimasi Hukum
Kerangka hukum KCJB berdiri di atas fondasi UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, namun Perpres 93 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 justru menciptakan ambiguitas normatif.
Perpres 93/2021 membentuk Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang berfungsi mengawasi aspek teknis dan finansial, sementara PMK 89/2023 memberi kewenangan Menteri Keuangan untuk memberikan pinjaman dan jaminan negara. Kedua aturan ini saling tumpang tindih dan melanggar asas lex specialis derogat legi generali.
Struktur regulasi tersebut justru memperluas celah bagi penyimpangan fiskal dan memperlemah mekanisme kontrol publik. Regulasi KCJB bersifat kontradiktif: secara formil legal, namun secara materiil melanggar asas-asas dasar negara hukum seperti transparency, accountability, dan checks and balances.
Yurisprudensi: Preseden Hukum atas Korupsi Infrastruktur
Mahkamah Agung telah menegaskan standar transparansi sebagai syarat legalitas proyek publik melalui putusan-putusan penting:
Artikel Terkait
Menteri AI Albania Hamil 83 Anak: Ini Fakta di Balik Kontroversi yang Menggemparkan
Buronan Interpol Pakistan Digagalkan di Bandara Kualanamu, Ternyata Terduga Teroris & Pembunuh
Misteri Skenario Gibran Jadi Cawapres: Ijazah, MK, dan Peran Tak Terduga Prabowo
KPK Selidiki Proyek Kereta Cepat Whoosh, Diduga Melibatkan Jokowi dan Luhut