Soeharto memerintah Indonesia selama 32 tahun dengan pendekatan otoriter. Di bawah bendera stabilitas dan pembangunan, rezimnya membungkam kebebasan pers, menindas oposisi, dan membangun oligarki kekuasaan yang melibatkan militer dan birokrasi. Banyak tokoh nasional, termasuk Ali Sadikin, menjadi korban sistem represif ini.
Analisis: Masalah Moral Penyandingan Dua Tokoh
Usulan penyandingan Ali Sadikin dan Soeharto sebagai pahlawan nasional menuai kritik dari berbagai kalangan. Terdapat beberapa masalah mendasar:
- Pertentangan historis antara korban dan pelaku represi
- Perbedaan nilai kepemimpinan yang diwakili kedua tokoh
- Pesan keliru tentang makna kepahlawanan bagi generasi muda
- Potensi revisi sejarah untuk kepentingan politik praktis
Kesimpulan: Pelajaran dari Sejarah
Gelar pahlawan nasional seharusnya diberikan dengan pertimbangan sejarah yang matang dan kepekaan moral. Ali Sadikin mewakili nilai keberanian melawan otoritarianisme, sementara Soeharto merepresentasikan sistem yang menindas perbedaan pendapat.
Penyandingan keduanya bukan hanya kekeliruan historis, tetapi juga pengkhianatan terhadap memori kolektif bangsa. Sejarah harus dipahami secara jernih, bukan dimanipulasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Warisan terbaik bagi generasi mendatang adalah kemampuan membedakan antara kepemimpinan yang menegakkan martabat rakyat dan kekuasaan yang menindasnya.
Ditulis oleh: Agung Nugroho, Direktur Jakarta Institute
Artikel Terkait
Trump Puji Prabowo: Indonesia Disebut Teman Baru AS di KTT ASEAN-US
Pidato Perdana Prabowo di KTT ASEAN 2025: Serukan Persatuan dan Sampaikan Duka untuk Thailand
Mengenang Johnson Panjaitan: Kisah Pengacara yang Ditakuti Jaksa & Pembela Rakyat Kecil
Kapolres Pimpin Langsung Patroli KRYD, 75 Personel Amankan Titik Vital Tanjung Priok