Analisa Ade Armando Pihak Yang Bekingi Isu Ijazah Jokowi-Gibran: Ada PDIP hingga Pendukung Anies

- Sabtu, 20 September 2025 | 20:35 WIB
Analisa Ade Armando Pihak Yang Bekingi Isu Ijazah Jokowi-Gibran: Ada PDIP hingga Pendukung Anies



GELORA.ME -  Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando memberikan analisanya mengenai pihak-pihak yang kemungkinan berada di balik polemik ijazah palsu.

Ade mencurigai keterlibatan PDI Perjuangan yang memiliki dendam kepada Jokowi dan Gibran

"Saya mau bilang satu yang bisa disebut sebagai, yang banyak disebut sebagai kemungkinan di belakang ini semua kalau betul ini semua adalah sesuatu yang saling berhubungan adalah, satu kemungkinan PDIP."


"Kedua, kelompok yang disebut sebagai kelompok 212, terkait sama Anies Baswedan."

"Ketiga adalah kelompoknya Roy Suryo yang orang menyebut bahwa jangan-jangan di sini adalah Partai Demokrat.," kata Ade di program Bola Liar, Kompas TV, Jumat (20/9/2025).

Selain itu, Ade juga menyebut Amerika Serikat hingga kelompok aktivis demokrasi sebagai kemungkinan pihak yang juga berada di balik isu ijazah.

"Kemudian disebut pula ada yang mengatakan bahwa di belakang ini ada sebuah kekuatan besar misalnya negara Amerika Serikat."

 "Kemudian ada pula yang mengatakan bahwa ini teman-teman, Anda pernah dengar istilah SJW, Social Justice Warriors ini lagi bergerak untuk menunjukkan bahwa kami peduli pada demokrasi," kata Ade.

Namun, dari sejumlah pihak yang disebut, Ade tidak bisa menentukan mana yang benar-benar menjadi backing isu ijazah.


"Sekarang kembali Anda tanya, lalu menurut Anda yang mana? Ya, saya enggak bisa jawab. Tapi yang jelas begini, yang penting begini, kalau Roy Suryo ingin mengatakan bahwa ijazah Jokowi itu palsu, kasih kami argumen, ya, bukti yang bisa dipakai untuk mengatakan bahwa ijazah Pak Jokowi palsu. Wong ijazah Pak Jokowi itu enggak pernah dinaiki, tidak pernah dipertunjukkan kok," ungkap Ade

Jokowi digugat lagi



Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) tak hadir secara langsung dalam sidang perdana terkait gugatan dua alumni Universitas Gajah Mada (UGM) di Pengadilan Negeri Solo, Jawa Tengah

Sidang sedianya digelar pada Selasa (16/9/2025), namun ditunda lantaran para tergugat tidak hadir.

Dalam gugatan yang diajukan melalui mekanisme citizen lawsuit (CLS), dua alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yakni Top Taufan dan Bangun Sutoto menuding ijazah Jokowi palsu

Atas hal tersebut, mereka meminta Jokowi meminta maaf.

 "Tadi dibuka sidang perkara tersebut kurang lebih pukul 11.30 WIB, di ruang Sidang Suryadi," kata Humas PN Solo, Subagyo, saat dihubungi, Selasa (16/9/2025) sore, seperti dilansir dari Kompas.com.

Pada perkara ini, Jokowi ditetapkan sebagai Tergugat I, Rektor UGM Prof. Ova Emilia sebagai Tergugat II, Wakil Rektor UGM Prof. Wening sebagai Tergugat III, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai Tergugat IV.

 Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini terdiri dari Putu Gde Hariadi, Sutikna, dan Fatarony.

 "Kemudian Majelis Hakim terhadap perkara tersebut, memanggil lagi tergugat empat yang belum hadir, pada sidang pada hari Selasa tanggal 30 September 2025, untuk hadir di persidangan," lanjut Subagyo.

Berikut Isi Petitum atau Tuntutan Penggugat dalam Gugatan:

Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.
Menyatakan Tergugat satu, Tergugat dua, Tergugat tiga dan Tergugat empat, telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Menyatakan bahwa Ijazah sebagaimana tersebut pada Bukti P-1 adalah Palsu.
Menghukum Tergugat satu untuk meminta maaf secara tertulis kepada Para Penggugat.
Kuasa hukum penggugat minta hakim diganti

Kuasa hukum Penggugat, M.Taufiq mengatakan, dalam sidang ini pihaknya meminta PN Solo agar menganti hakim Putu Gde Hariadi.

Permintaan tersebut karena hakim telah memutuskan penolakan ijazah palsu Jokowi sebelumnya.

"Kami menilai hal itu berpotensi melahirkan putusan serupa dan mencederai prinsip keadilan. Jadi hakim harus diganti,” kata Taufiq.

Ia menjelaskan, dalam setiap proses hukum, selalu ada kalimat pro justicia, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu juga sudah diatur dalam UU No 48/2009 tentang Pokok-Pokok Kehakiman.

“Saya tidak melihat itu jika perkara ini tetap diadili hakim yang sama dengan perkara. Hari ini (Selasa) kami mengirimkan surat resmi kepada ketua pengadilan untuk meminta penggantian majelis hakim,” ucap dia.

Kuasa hukum Jokowi, YB. Irpan menyebutkan, pihaknya mendapatkan kuasa dari Jokowi. Namun, setelah dilakukan pengecekan, pihak tergugat IV dalam hal ini tidak hadir.

“Sesuai jadwal sidang hari ini, majelis hakim memastikan para pihak dalam perkara nomor 211 dihadiri langsung oleh prinsipal maupun kuasa hukum,” kata Irpan.

KPU Tepis Rumor Penyembunyian Ijazah Sengaja untuk Lindungi Capres/Cawapres
Ia menambahkan, timnya masih mendalami substansi gugatan CLS. Hal itu terkait pergantian hakim yang diusulkan penggugat merupakan internal PN Solo.

“Kami sudah punya pemikiran apa yang akan dilakukan, tapi terlalu dini jika kami buka sekarang terkait gugatan CLS ini,” tandasnya.

Jokowi tanggapi soal ijazah Gibran

Joko Widodo (Jokowi) menanggapi gugatan yang dilayangkan kepada putranya, Gibran Rakabuming Raka.

Gibran, yang kini menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, digugat terkait keabsahan ijazah SMA oleh seorang bernama Suban Palal 

Gugatan perdata itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Karena gugatan ini berkait proses pencalonan Gibran menjadi wapres, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga turut serta digugat.

Subhan Palal meyakini ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Gibran dan KPU RI pada Pilpres 2024.

Menurut Subhan, berkas persyaratan yang diajukan Gibran sebagai calon Wakil Presiden diduga cacat. 

Pasalnya, Gibran mendaftar menggunakan ijazah luar negeri yang masih diragukan.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden pada  Pasal 169 huruf r menyatakan, ”Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (r) “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat”.

Subhan berpandangan, hal ini jelas bertentangan dengan ijazah Gibran yang berasal dari luar negeri. 


Tangggapan Jokowi

Sementara itu, Jokowi tak habis pikir kenapa isu terkait riwayat pendidikan terus menyeret keluarganya, setelah ia juga sebelumnya terseret isu ijazah palsu

. Jokowi bahkan berseloroh, bisa-bisa ijazah cucunya sekaligus anak sulung Gibran, Jan Ethes, juga akan ikut dipersoalkan. 

"Ijazah Jokowi dimasalahkan. Ijazah Gibran dimasalahkan. Nanti sampai ijazah Jan Ethes dimasalahkan," kata Jokowi sambil tertawa di Solo, Jawa Tengah, Jumat (12/9/2025).

Meski demikian, Jokowi menegaskan akan menghormati proses hukum. 

"Ya tapi apa pun ikuti proses hukum yang ada, ya. Semuanya kita layani," ujarnya. Menurut Jokowi, isu ijazah yang terus muncul ini tidak mungkin berjalan tanpa ada pihak yang mem-backup.

 "Iya ini tidak hanya sehari, dua hari. Sudah empat tahun yang lalu. Kalau yang napasnya panjang itu kalau tidak ada yang mem-backup kan tidak mungkin. Gampang-gampangan aja," katanya.

Jokowi juga mengungkapkan bahwa dialah yang memilihkan sekolah luar negeri untuk Gibran.

"Iya (Singapura) di Orchid Park Secondary School. Yang nyarikan saya kok," ucapnya. 

"Biar mandiri saja," sambung dia.

Subhan Palal buka-bukaan saat wawancara khusus Tribun Network 

Di sisi lain, Subhan menjelaskan alasannya melaporkan Gibran saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

“Bukti menunjukkan bahwa Gibran itu tidak punya dokumen yang menyatakan dia lulus SMA sesuai dengan ketentuan undang-undang. Saya memiliki bukti setarang orang tahu Monas di Jakarta,” kata Subhan.

Diketahui, Gibran mengemban Sekolah Menengah Atas (SMA) di Orchid Park Singapura dan melanjutkan University Technology Sydney Australia.


Subhan dalam gugatannya juga mengajukan kerugian material dan imaterial. Dalam gugatan materil, ia mengajukan uang sebesar Rp10 juta. 

Sedangkan, dalam kerugian imateril, ia mengajukan Rp125 triliun.

Dia beralasan, permintaan uang Rp125 T itu diajukan lantaran perbuatan melawan hukum yang merugikan negara. Sehingga, dia berencana membagikan uang itu kepada seluruh rakyat Indonesia dengan besaran masing-masing Rp450 ribu.

“Sistem negara hukum itu tadi yang rusak, kan? Maka kerusakan ini saya, kerugian itu nanti saya bayarkan kepada negara untuk semua warga negara Indonesia kalau nggak salah jumlanya 285 juta. Uang Rp125 triliun itu dibagi ke seluruh warga negara Indonesia.


“Itu, kalau dilihat dari sisi itu kecil. Kerugian yang saya minta dari orang per orang. Sekitar Rp450 ribuan,” jelasnya.

Berikut wawancara lengkap dengan Subhan Palal bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra:

Tanya: Karena kebetulan, entah kebetulan atau bagaimana, pada saat yang sama ada sebuah isu politik yaitu pemakzulan atau permohonan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan oleh sejumlah purnawirawan TNI. Di sisi lain, juga lagi ada ribut-ribut soal keaslian ijazah Pak Jokowi yang sekarang proses hukumnya dilakukan di Polda Metro Jaya. Bapak kemudian mengajukan gugatan ini. Apakah bapak menjadi bagian dari kelompok ini?

Jawab: Saya tidak bagian dari teman-teman yang lagi berjuang di sisi itu. 

Saya adalah warga negara yang berdiri dengan sistem negara hukum saya.

Tanya: Awal mulanya Pak Subhan kepingin mempersoalkan ijazah SMA-nya Gibran ini, Pak? 

Jawab: Sebenarnya ini kewajiban seluruh warga negara. Sebenarnya esensinya kewajiban seluruh warga negara Indonesia.

Kenapa? Yang dinodai, yang ternodai ini adalah sistem negara. Sistem hukum negara. Hukum negara, hukumnya ternodai.

Tanya: Oh, sebenarnya udah lama ya ini ya? 

Jawab: Sudah lama. Begitu ada pemilu, saya lihat itu. Ada pengesahan para calon, kan? Ada satu kandidat calon presiden saya persoalkan. Selain Gibran. 

Kalau waktu itu, waktu itu belum pemilu. Yang kandidat presiden itu, saya persoalkan tentang kewarganegaraannya. 

Tanya: Dalam konteks ini siapa, Pak? 

Jawab: Saya nggak bisa sebut. Yang penting ada salah satu calon. Kewarganegaraannya yang saya persoalkan. 

Dan hakim menyatakan tidak berwarna mengadili. Saya bawa ke PTUN juga begitu. 

Di PTUN bilang, saya tidak mempunyai legal standing. Saya nggak putus asa. Ini ada lagi nih. 

Saya tunggu sampai dia jadi wakil presiden atau jadi presiden, saya akan persoalkan. 

Tanya: Kenapa Pak Subhan harus menunggu? Ini kan udah lama nih presiden, wakil presiden ini dilantik 20 Oktober 2024. Sudah 10 bulan. 

Jawab: Konsep gugatan saya adalah konsep perbuatan melawan hukum. 

Kalau perbuatan melawan hukum, maka kita menunggu sampai itu berbuat. Ada perbuatan. 

Nah, perbuatan itu mengandung unsur, pasal 1365 KUHAP, perbuatan melawan hukum.

Tanya: Jadi menunggu sampai perbuatan malaman hukumnya kelar gitu ya? 

Jawab: Intinya itu. Soalnya gini, saya itu menuntut di PTUN sebelum sampai.

Tanya: Pernah mengajukan permohonan di Pengadilan Tata Usaha Negara ya? 

Jawab: Pernah. Yang saya buat pertama KPU. Karena lembaga yang melakukan perbuatan malaman hukum itu harus di kompetensinya wilayah PTUN. Pengadilan PTUN.

Saya bawa ke PTUN. Dengan proses keberatan. Sama juga anunya, permohonannya bahwa PTUN , KPU menerima pendaftaran.

Tanya: Jadi, sebelum mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah mengajukan permohonan ke PTUN. Betul ya, Pak ya? 

Jawab: Bukan permohonan. Gugatan.

Tanya: Pada waktu itu hasilnya apa, Pak?

Jawab: Hasilnya gugatan saya kena dismissal. Dismissal itu kata alasannya pengadilan PTUN bahwa gugatan saya sudah tidak ada waktu untuk itu. Sudah lewat. 

Karena pengadilan TUN bilang harus 90 hari. Nah, saya putusan ini harusnya dilawankan. 

Saya nggak ngelawan. Saya biarkan. Karena saya buat kunci ini. Kunci untuk di pengadilan negeri. 

Tanya: Maksudnya gimana kunci itu, Pak? 

Jawab: Karena di PTUN sudah pernah kita coba habis waktu, kan? Berarti ketutup, tuh. Semua pengadilan tertutup. 

Nah, ada teori pengadilan. Teori namanya teori residu pengadilan. Bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya meskipun tidak ada hukum acaranya. 

Artinya kunci, nih. Nanti nggak tahu Pak Hakim gimana memutus itu. 

Tapi ada undang-undangnya yang bunyinya itu. 

Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya. 

Tanya: Banyak orang bertanya, apa sih yang dipunyai Pak Subhan sehingga kemudian berani mengajukan kegugatan perbuatan melawan hukum terhadap Gibran dan KPU? 

Jawab: Saya ini pemuja negara hukum. Nah, berangkat dari situ saya melihat ada kejangkalan hukum di mana kita mau dipimpin waktu itu kan oleh seorang wakil presiden. 

Nah, syaratnya harus penuh, dong. Untuk apa kita memilih orang yang sudah ditentukan syaratnya tapi salah satunya nggak terpenuhi. 

Bukti menunjukkan bahwa Gibran itu nggak punya dokumen yang menyatakan dia lulus SMA sesuai dengan ketentuan undang-undang. 

Karena itu sudah materi pengadilan. Saya hanya bisa mengumpamakan. 

Saya memiliki bukti seterang orang tahu Monas di Jakarta.

Jadi, ibarat kata sudah terang beneran, ya, buktinya. Iya, terang beneran. Dan cukup, menurut saya.

Tanya: Biasanya orang juga akan mempertanyakan, hakim mempertanyakan soal legal standing. Kalau saya boleh tanya itu, legal standing-nya, Pak Subahn, untuk terkait dengan ijazahnya Gibran dan KPU, ini apa? 

Jawab: Legal standing saya adalah warga negara yang dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang. 

Itu satu. Kedua, saya pembayar pajak.  Wajib pajak, membayar pajak. Tapi mendapatkan pemimpin yang begini. 

Yang begini itu kurang atau cacat bawaan. Karena salah satu syaratnya tidak terpenuhi tadi. Saya hanya ingin bukti bahwa dia pernah sekolah.

Sumber: Wartakota 

Komentar