Nota Cinta untuk Penguasa

- Selasa, 09 September 2025 | 09:25 WIB
Nota Cinta untuk Penguasa




OLEH: AHMADIE THAHA


INDONESIA tampaknya sedang melanjutkan tradisi klasiknya: setiap kali rakyat turun ke jalan, elite politik buru-buru mengadakan konferensi pers, tokoh agama menggelar doa bersama, dan guru besar menandatangani petisi. Lengkap sudah bahwa ada doa naik ke langit, tuntutan akademis dilempar ke Istana, sementara rakyat masih saja tercebur ke aspal dengan gas air mata.


Dua dokumen baru-baru ini layak kita baca dengan serius. Pertama, pernyataan tokoh lintas agama yang dimotori oleh MUI secara beruntun di berbagai kota. Isinya penuh seruan damai, doa, dan ajakan welas asih. Kedua, pernyataan keras dari 88 guru besar yang lebih seperti naskah ujian negara darurat, berisi delapan resep cepat saji untuk menyelamatkan republik.


Mari kita bedah pelan-pelan, tentu dengan kacamata satiris agar lebih mudah memahami republik ini. Para tokoh lintas agama itu memulai pernyataan mereka dengan bahasa indah: belasungkawa, doa bagi korban, ajakan damai. Indah memang, tapi kita tahu doa di republik ini kadang diperlakukan seperti “obat generik” yang cocok untuk semua penyakit, dari inflasi sampai bentrok mahasiswa.





Mereka menekankan bahaya adu domba, menolak kekerasan, dan mendesak aparat bersikap profesional. Semua benar, semua mulia, semua kita aminkan. Tapi di ujung, ada kalimat yang menarik yaitu dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto. Jadi, seruan damai plus endorse politik. Sebuah kombinasi yang di Indonesia sudah jamak, doa sekaligus “nota cinta” untuk penguasa.


Dari sudut pandang teori politik, pernyataan ini menggambarkan “fungsi legitimasi religius” sebagaimana diurai Jürgen Habermas (2006) tentang ruang publik religius. Agama memang sering jadi bantalan moral saat negara retak, tapi ia juga rawan dipakai sebagai stabilizer kekuasaan atas nama agama apa pun.


Lalu masuklah 88 guru besar dengan naskah yang jauh lebih tegas. Mereka tak hanya meminta aparat berhenti menembakkan gas air mata, tapi juga meminta Polri direformasi, kabinet dirombak, DPR dipangkas, KPK dihidupkan kembali, UU Ciptaker dicabut, hingga program makan bergizi gratis dirombak. Lengkap. Bahkan lebih lengkap daripada kurikulum Merdeka Belajar.


Kalau tokoh agama memberi vitamin moral, para guru besar ini memberi resep operasi sesar besar-besaran. Pertanyaannya: apakah pasien bernama Republik Indonesia siap dioperasi? Atau jangan-jangan, seperti sering terjadi, resep akademis ini hanya jadi catatan kaki dalam sejarah protes mahasiswa?

Halaman:

Komentar