Bagaimana Mengadili & Memenjarakan Jokowi?

- Selasa, 02 September 2025 | 11:50 WIB
Bagaimana Mengadili & Memenjarakan Jokowi?


'Bagaimana Mengadili & Memenjarakan Jokowi?'


Kalau hukum di negeri ini benar-benar dijalankan dengan logika yang konsisten, Joko Widodo seharusnya sudah duduk di kursi terdakwa. 


Bahkan hukumannya mestinya lebih berat dari Thomas Lembong


Kenapa? Karena kalau Tom bisa dihukum hanya karena “memperkaya orang lain,” tanpa ia menikmati keuntungan langsung, maka Jokowi adalah juaranya: memperkaya orang lain, anak sendiri, menteri, kroni, oligark, investor asing—semuanya kecipratan.


UU Cipta Kerja: Tikar Emas untuk Investor


Jokowi membanggakan UU Cipta Kerja sebagai pintu masuk investasi. 


Betul, tapi pintu itu bukan sekadar dibuka, melainkan dijadikan karpet emas sepanjang 190 tahun bagi pemilik modal. 


Hak Guna Usaha bisa diperpanjang sampai dua abad, sementara guru, buruh, nelayan, dan petani tidak kebagian apa-apa selain janji manis.


Kalau logikanya memperkaya orang lain = pidana, maka Jokowi ini layak masuk Guinness World Records sebagai terdakwa dengan skala paling megah.


Proyek Nasional = Proyek Bermasalah


Dari pagar laut, proyek strategis nasional yang hanya strategis bagi investor, sampai eksploitasi Raja Ampat yang katanya demi pariwisata tapi ujungnya pariwisata siapa? 


Belum lagi industri ekstraktif yang merajalela, bikin hutan rata, bikin sungai keruh, bikin udara sesak. Semua dikerjakan dengan label “demi pembangunan”.


Kalau ini bukan memperkaya segelintir orang sambil mengorbankan masa depan bangsa, lalu apa?


Dinasti, Utang, dan Harta yang Melejit


Utang luar negeri di era Jokowi sudah menembus langit. Infrastruktur berdiri, betul. Tapi siapa yang kenyang? 


BUMN kebingungan, kontraktor asing berpesta. Dan anehnya, kekayaan keluarga Jokowi juga melonjak. 


Anak-anaknya tiba-tiba jadi politisi dan pengusaha serba bisa. Menteri-menterinya pun harta bertambah, seolah ikut arisan rahasia di lingkaran istana.


Kebetulan? Atau memang rezim kerja-kerja-kerja ternyata berarti kerja untuk menambah isi dompet orang-orang dekat?


Bansos dan Konstitusi yang Dikoyak


Puncaknya, bansos miliaran dibagikan menjelang Pilpres 2024, jelas-jelas alat politik. Konstitusi pun diacak-acak demi meloloskan anaknya jadi cawapres. 


Hari ini, si anak sudah resmi duduk sebagai wakil presiden, sementara rakyat disuruh percaya bahwa itu semua murni karena demokrasi.


Jokowi selalu piawai cuci tangan: “Yo ndak tahu, kok tanya saya.” Begitulah gaya khasnya. 


Padahal, kalau logika hukum benar-benar jalan, cuci tangan pun tak bisa membersihkan jejak kejahatan politik.


Mengadili Jokowi


Bukan soal ada niat jahat atau tidak. Hukum tak peduli soal niat, yang dihitung adalah akibat. 


Dan akibat kebijakan Jokowi nyata: hutang menggunung, alam rusak, rakyat miskin, oligarki gemuk. 


Kalau orang kecil bisa dipenjara karena memperkaya orang lain, Jokowi pantas dapat “paket full service”: dari KPK, pengadilan tipikor, sampai pengadilan rakyat.


Jokowi mungkin akan dikenang sejarah sebagai presiden yang paling mahir membangun citra sekaligus paling lihai mengacak-ngacak fondasi republik. 


Maka, memenjarakan Jokowi bukan sekadar fantasi politik—itu adalah ujian terakhir: apakah hukum di negeri ini masih punya nyali, atau benar-benar hanya jadi badut demokrasi.


Sumber: FusilatNews

Komentar