GELORA.ME - Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, melempar sebuah analisis berani yang menghidupkan kembali diskursus pasca-Pilpres 2024.
Melalui kanal podcast-nya, Refly menyebut sebuah skenario mengejutkan, Anies Baswedan tidak hanya berpeluang masuk kabinet Prabowo Subianto, tetapi bahkan bisa menggantikan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden.
Refly membedah sebuah kemungkinan langkah politik yang bisa membawa Anies ke lingkar kekuasaan sebagai orang nomor dua di Indonesia.
"Anies Baswedan dinilai sebagai figur teknokrat yang bisa diandalkan dan berpotensi menggantikan Gibran sebagai wakil presiden, dengan syarat tidak maju di Pilpres 2029," demikian kutipan Refly Harun dalam podcast-nya, dikutip Kamis (7/8/2025).
Menurut pandangan Refly, Prabowo bisa saja mempertimbangkan untuk merangkul Anies sebagai Wapres di tengah jalan.
Tujuannya? Memperkuat stabilitas politik dan meredam sisa-sisa rivalitas pemilu.
Langkah ini dilihat sebagai sebuah rekonsiliasi pragmatis untuk menambah legitimasi sekaligus dukungan terhadap pemerintah.
Namun, tentu ada syarat berat. Refly menyebut Anies harus bersedia mengorbankan tiketnya di Pilpres 2029 sebagai bagian dari kesepakatan politik tingkat tinggi.
Jika skenario ini berjalan, koalisi Prabowo secara efektif bisa mengeliminasi salah satu pesaing terkuat di pemilu berikutnya, sambil mengintegrasikan basis pendukung Anies ke dalam gerbong pemerintahan.
Kursi Wapres vs Tiket Pilpres 2029
Refly Harun secara terbuka menyebut skenario ini sebagai bentuk "barter politik".
Anies ditawari posisi strategis sebagai wakil presiden, namun sebagai gantinya harus mundur dari kontestasi jangka panjang.
Hal ini menempatkan Anies di hadapan dilema besar: menerima jabatan prestisius dan berkontribusi langsung dari dalam sistem kekuasaan, atau tetap setia pada idealisme sebagai figur oposisi dengan segala konsekuensi politiknya.
Pertanyaan terbesarnya, bisakah wakil presiden diganti di tengah masa jabatan? Secara konstitusional, prosesnya sangat kompleks.
Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur bahwa seorang wapres hanya bisa diberhentikan (dimakzulkan) jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan negara, korupsi, atau perbuatan tercela lainnya.
Prosesnya pun harus melalui DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), hingga sidang MPR dengan syarat yang sangat ketat.
Akan tetapi, ada satu celah yang memungkinkan skenario Refly menjadi kenyataan: pengunduran diri Gibran secara sukarela.
Jika hal itu terjadi, Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945 akan berlaku.
Pasal tersebut menyatakan bahwa Presiden dapat mengajukan dua nama calon wakil presiden kepada MPR untuk dipilih.
Di sinilah nama Anies Baswedan bisa diajukan, asalkan ada kesepakatan politik yang solid dari seluruh koalisi pendukung Prabowo.
Tiga Alasan Yang Bisa Jadi 'Dasar' Pemakzulan Gibran
1. Persoalan Administratif
Pemberhentian dapat dilakukan jika presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat administratif sebagai pejabat negara.
Misalnya, ditemukan ketidaksesuaian dalam dokumen resmi seperti ijazah palsu atau tidak terpenuhinya persyaratan lain sebagaimana diatur dalam konstitusi.
2. Pelanggaran Hukum atau Pidana
Alasan kedua adalah jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana, seperti suap, korupsi, atau tindak kriminal lain yang merusak integritas jabatannya.
3. Melakukan Perbuatan Tercela
Faktor terakhir adalah jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau tindakan yang dianggap tidak bermoral dan mencoreng martabat jabatannya.
Isu yang Menjerat Gibran Rakabuming Raka
Merujuk pada ketiga dasar tersebut, Zainal menyebut ada beberapa isu yang selama ini dikaitkan dengan Gibran dan berpotensi menjadi bahan pertimbangan jika proses pemakzulan benar-benar diusulkan dan terbukti kebenarannya, di antaranya:
1. Isu Ijazah Palsu
Gibran sempat diterpa isu mengenai dugaan ijazah palsu, meski hingga kini belum ada bukti resmi yang menguatkan tudingan tersebut.
2. Kasus Akun Kaskus "Fufu Fafa"
Akun Kaskus dengan nama "Fufu Fafa" sempat ramai diperbincangkan karena diduga terkait dengan Gibran dan dianggap memuat konten tidak bermoral.
Namun, keterkaitan Gibran dengan akun tersebut juga belum terbukti secara hukum.
3. Laporan ke KPK oleh Akademisi
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubaidillah Badrun, pernah melaporkan Gibran ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan gratifikasi atau penyimpangan lainnya.
Laporan ini menjadi catatan tersendiri, meskipun belum ada hasil resmi atau putusan hukum yang menetapkan Gibran bersalah.
Zainal menekankan, bahwa seluruh isu tersebut baru dapat dijadikan dasar hukum untuk pemakzulan jika telah melalui proses pembuktian yang sah di hadapan hukum dan lembaga terkait.
Proses Pemakzulan Sesuai Konstitusi
Lebih lanjut, Zainal menjelaskan, bahwa mekanisme pemakzulan tidak bisa dilakukan secara serampangan.
Prosesnya diawali dari kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian dilanjutkan dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Apabila MK memutuskan, bahwa syarat-syarat pemakzulan terpenuhi, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat memutuskan pemberhentian wakil presiden secara resmi.
Zainal sendiri secara pribadi mengakui, bahwa proses Pilpres 2024 yang mengantarkan Gibran ke kursi wakil presiden memang penuh kontroversi dan menurutnya cacat secara konstitusi.
Namun, ia menolak jika pemakzulan dilakukan dengan cara yang juga melanggar konstitusi.
Baginya, seluruh tahapan harus tetap mengikuti koridor hukum yang berlaku, tanpa rekayasa atau pengkhianatan terhadap UUD 1945.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Mensos: Dana Bansos Mengedap 3 Bulan di Bank, Otomatis Ditarik Lagi oleh Negara
Begini Cara Mata Elang Gercep Cek Nomor Pelat Kendaraan Nunggak
Ustad Dasad Latif Jadi Korban PPATK: Semoga Ini Hanya Terjadi Pada Saya
Ijazah Jokowi Kembali Diserang: Relawan Sebut Ada Dalang Kuat, Siapa?