Pemimpin Tanpa Dendam
Keputusan ini juga menandai lahirnya fase kedewasaan baru dalam demokrasi kita. Presiden Prabowo, oleh sebagian kalangan, mulai dipandang sebagai figur pemimpin yang memilih merangkul daripada membalas, seorang pemersatu yang tidak menyimpan dendam terhadap lawan-lawan politik masa lalu. Tak berlebihan jika ada yang menyebutnya sebagai “Nelson Mandela-nya Indonesia”, dalam konteks lokal dan historis kita sendiri.
Bahkan, dalam momentum peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Indonesia, keputusan ini disebut-sebut sebagai kado simbolik Presiden bagi rakyat. bahwa seluruh warga negara kini telah merdeka, termasuk mereka yang sempat terjerat oleh dinamika politik yang keras dan penuh resistensi.
Tantangan Global dan Urgensi Stabilitas
Kebijakan ini pun tidak lepas dari konteks geopolitik global yang penuh ketidakpastian. Kawasan Asia Tenggara, yang selama ini dikenal relatif stabil, mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Ketegangan antara Kamboja dan Thailand misalnya, menjadi alarm bahwa bahkan ASEAN tidak lagi aman dari potensi konflik fisik antarnegara.
Dalam kondisi demikian, stabilitas politik domestik menjadi prasyarat utama untuk menjaga daya tahan nasional. Konsolidasi politik dan rekonsiliasi kebangsaan adalah benteng penting dalam menghadapi ketegangan global. Maka, keputusan Presiden juga dapat dibaca sebagai strategi memperkuat daya tahan internal dalam menghadapi krisis eksternal.
Menjaga Masa Depan Bersama
Prinsip yang tampak menjadi dasar dari kebijakan ini adalah kaidah ushul fiqh: “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat, ketika keduanya tidak bisa dicapai secara bersamaan. Ini adalah cermin kebijakan yang tidak hanya berdiri di atas fondasi hukum, tetapi juga etika dan kebijaksanaan bernegara.
Kini, tantangan terbesar bukan lagi pada keputusan itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita, sebagai masyarakat sipil, media, dan institusi negara, mampu mengelola narasi kebijakan ini agar tidak terjebak dalam bentuk polarisasi baru. Diperlukan ruang-ruang diskusi yang sehat dan bernash untuk melihat langkah ini sebagai bagian dari manajemen krisis demokrasi yang kompleks dan menuntut pertimbangan jangka panjang.
Negara tidak sedang membenarkan masa lalu. Negara sedang membuka pintu-pintu baru bagi masa depan yang lebih sehat secara politik, adil secara hukum, dan bersatu secara sosial.
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indeks Data Nasional (IDN)
Artikel Terkait
Filosofi Tat Twam Asi: Rahasia Nilai Kemanusiaan Bung Karno yang Diumbar Megawati
Timnas Futsal Indonesia Vs Australia 2025: Uji Coba Krusial Jelang SEA Games, Live di Indonesia Arena
PNM Raih Penghargaan Inovasi Keuangan Berkelanjutan di CNN Indonesia Awards 2025, Bukti Komitmen untuk UMKM dan Perempuan
Mahfud MD Sebut Jokowi Lugu di Awal Pemerintahan, Soroti Proyek Whoosh