Negara Hukum atau Negara Sogok? Ketika Yang Jujur Dipenjara dan Yang Pembohong Diberi Tahta!

- Sabtu, 05 Juli 2025 | 15:50 WIB
Negara Hukum atau Negara Sogok? Ketika Yang Jujur Dipenjara dan Yang Pembohong Diberi Tahta!


Negara Hukum atau Negara Sogok? Ketika Yang Jujur 'Dipenjara' dan Yang Pembohong Diberi 'Tahta'!


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum Politik dan KUHP


Dalam prinsip negara hukum, tidak boleh ada pasal yang menghukum orang yang berkata benar dan memuja penipu dengan hadiah. 


Namun realitas kini menunjukkan gejala sebaliknya: mereka yang menyuarakan kebenaran dikriminalisasi, sementara pelaku kebohongan dielu-elukan dan dilindungi.


Mengacu pada ketentuan KUHAP jo. Perkapolri, seharusnya dalam penanganan suatu kasus, penyidik Polri wajib mengundang pihak-pihak terkait dalam gelar perkara:



Pemanggilan ini, jika dilakukan, membebaskan penyidik dari tuntutan hukum (equality before the law) karena telah menjalankan prosedur. 


Lebih dari itu, penyidik bahkan memiliki hak memaksa kehadiran mereka yang dipanggil.


Kehadiran Dr. Roy Suryo dan Dr. Rismon bersifat kasuistis, karena keterangan mereka yang disampaikan secara publik telah dijadikan dasar oleh pihak Pengadu sebagai bukti bahwa ijazah milik Teradu (Jokowi) adalah palsu. 


Dalam konteks ini, mereka bukan hanya ahli, tetapi juga saksi faktual atas dugaan pemalsuan, sehingga wajib didengar keterangannya.


Memang, KUHAP tidak secara eksplisit mewajibkan kehadiran ahli dalam gelar perkara. 


Tapi dalam kasus ini, karena para saksi telah menyampaikan keahliannya di ruang publik, maka menjadi hak para Pengadu untuk menghadirkan mereka secara resmi dalam proses penyelidikan.


Hakikat dari seluruh proses hukum pidana adalah mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, bukan sekadar membuktikan dakwaan. 


Tujuannya adalah memastikan tidak ada warga negara yang tidak bersalah dihukum, dan sebaliknya tidak ada pelaku kejahatan yang justru dibebaskan.


Sayangnya, jika sejak awal penyidik atau penegak hukum bersikap tidak adil atau melanggar ketentuan hukum, maka keadilan sejati tak akan pernah bisa lahir. 


Dalam adagium klasik: justice delayed is justice denied, tapi lebih jauh lagi: justice distorted is justice destroyed.


Penyidik harus kembali pada fitrahnya sebagai penegak hukum, bukan alat kekuasaan. 

Halaman:

Komentar