Presiden RI Tumbang Oleh Yang Tak Tertulis Dalam UUD

- Rabu, 04 Juni 2025 | 15:15 WIB
Presiden RI Tumbang Oleh Yang Tak Tertulis Dalam UUD


'Presiden RI Tumbang Oleh Yang Tak Tertulis Dalam UUD'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Indonesia punya sejarah panjang tentang presiden yang lengser bukan karena masa jabatannya usai, melainkan karena kombinasi antara tekanan politik, hukum, dan yang tak kalah penting: desakan rakyat. 


Di tengah euforia demokrasi, kita kerap lupa bahwa kekuasaan yang besar tidak hanya ditentukan lewat surat suara, tapi juga oleh suara-suara di jalanan.


Bung Karno: Sang Proklamator yang Terpinggirkan


Soekarno tidak pernah kalah dalam pemilu. Tapi ia kalah oleh konstelasi politik dan tekanan rakyat yang menggumpal sejak awal 1965. 


Setelah Tragedi G30S, kekuatannya merosot drastis. Rakyat, terutama mahasiswa, turun ke jalan. 


Tiga tuntutan mereka, yang kemudian dikenal sebagai Tritura, menggema: bubarkan PKI, turunkan harga, dan reshuffle kabinet.


Tekanan datang dari segala penjuru. Militer merapat ke Jenderal Soeharto. Sidang MPRS 1967 merampas kekuasaan Bung Karno lewat mekanisme hukum yang dipaksakan suasananya. 


Demokrasi terpimpin runtuh, bukan semata oleh hukum, tapi karena kekuatan massa rakyat yang sudah muak. Lengsernya Bung Karno adalah kombinasi politik, hukum, dan desakan jalanan.


Soeharto: Penguasa Orde Baru yang Diakhiri Reformasi


Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tampak tak tergoyahkan. Tapi Mei 1998 menjadi titik balik sejarah. 


Mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, jalan-jalan dipenuhi teriakan reformasi, dan ekonomi remuk oleh krisis moneter. 


Legitimasi politiknya tergerus cepat, loyalitas elite menipis, dan tekanan publik melonjak ke titik didih.


Soeharto akhirnya mundur bukan karena dikalahkan lewat pemilu, melainkan karena tak ada lagi yang bisa membendung gelombang rakyat. 


Ketika rakyat turun ke jalan, segala perhitungan politik jadi tak berarti. 


Hukum bahkan hanya menjadi stempel formal untuk apa yang telah diputuskan oleh desakan kolektif rakyat.


Habibie: Presiden Sementara yang Tak Diinginkan Partai


B.J. Habibie hanya 17 bulan menjabat. Dia mewarisi krisis dari Soeharto, membuka keran demokrasi, membebaskan media, membiarkan referendum Timor Timur, dan memperkenalkan otonomi daerah. Tapi pidato pertanggungjawabannya pada Sidang Umum MPR 1999 ditolak.


Ironisnya, penolakan datang dari partainya sendiri, Golkar. Partai yang dulu jadi tulang punggung kekuasaan Orde Baru enggan mempertahankannya. 


Bukan massa yang menggulingkan Habibie, tapi kekuatan elite politik yang merasa harus bergerak cepat mengatur ulang arah pasca-Soeharto. 


Habibie tumbang secara politis, bukan lewat pemakzulan atau pemilu, tapi karena tidak mendapat tiket untuk maju kembali.


Gus Dur: Dilengserkan Lewat Jalan Politik


Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah presiden yang penuh paradoks: visioner tapi juga sering mengundang kontroversi. 


Pada 2001, DPR dan MPR memulai proses pemakzulan dengan alasan “menyelamatkan negara.” Dua memorandum dikeluarkan, hingga Sidang Istimewa MPR digelar.


Tapi semua orang tahu, ini bukan soal hukum semata. Proses pemakzulan Gus Dur lebih bersifat politis daripada yuridis. 


Konflik elite, tarik-menarik kepentingan, dan ketidakmampuan Gus Dur mengendalikan koalisi jadi pemicunya. 


Rakyat memang tidak turun besar-besaran seperti 1998, tapi tekanan elite politik saat itu tak kalah keras dan menentukan.


Rakyat Tak Pernah Diam


Empat kisah ini menunjukkan satu benang merah: kekuasaan presiden di Indonesia selalu berhadapan dengan kekuatan rakyat.


Entah lewat demonstrasi massal, penolakan partai, atau manuver politik, yang menjatuhkan presiden bukan sekadar kotak suara atau konstitusi. 


Tapi gabungan dari kekuatan politik, hukum, dan rakyat yang menyuarakan ketidakpuasan.


Kita belajar bahwa pemimpin yang abai terhadap suara rakyat bisa dijatuhkan bahkan sebelum masa jabatannya selesai. 


Tapi kita juga diingatkan bahwa elite bisa menjegal seorang presiden, bahkan meski ia dipilih secara demokratis.


Di republik ini, rakyat tak hanya memilih pemimpin, tapi juga bisa mengakhiri kepemimpinannya—dengan atau tanpa mekanisme formal.


Jika hari ini kita melihat kekuasaan yang kokoh, sebaiknya kita ingat: sejarah Indonesia penuh dengan presiden yang tumbang oleh tekanan yang tak tertulis dalam UUD.


Dan itu bisa terulang kapan saja! ***


Sumber: FusilatNews

Komentar