Eks Menkes Siti Fadilah Minta Indonesia Waspada Pandemi Baru: Katanya pada 2025 Ini

- Sabtu, 03 Mei 2025 | 15:35 WIB
Eks Menkes Siti Fadilah Minta Indonesia Waspada Pandemi Baru: Katanya pada 2025 Ini


GELORA.ME - 
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) periode 2004-2009, Siti Fadilah Supari merespons kabar adanya penyebaran virus baru pada 2025.

Menurutnya, kabar tersebut bisa saja benar, karena adanya Pandemic Treaty (Perjanjian Pandemi) dan amandemen International Health Regulation (IHR) yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization).

“Pandemi itu sudah dinyatakan pasti ada. Next pandemic itu katanya pada 2025 ini. Itu yang mengatakan bukan orang sembarangan, yang mengatakan adalah Bill Gates (Pendiri Microsoft),” kata Siti Fadilah saat berbincang bersama Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang Rabu 30 April 2025, dikutip Sabtu (3/5/2025).

“Itu bukan hanya omongan, mereka (WHO) sudah menyiapkan undang-undangnya ke seluruh dunia,” katanya menambahkan.

Pandemic Treaty merupakan sebutan lain dari WHO Convention, Agreement or other International Instrument or Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (WHO CA on PPPR).

Perjanjian yang mengikat 194 negara anggota WHO ini merupakan instrumen internasional tentang pencegahan, kesiagaan, dan respons terhadap pandemi yang bisa terjadi kapan saja.

Perjanjian itu telah dibahas dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 27 Mei - 1 Juni 2024 di Jenewa, Swiss.

Namun beleid tersebut belum disahkan. Pengesahan aturan yang terdiri dari 37 pasal itu ditarget pada sidang WHA ke-78 yang bakal digelar pada tahun ini.

Adapun amandemen IHR telah disahkan dalam sidang WHA ke-77 yang merupakan perubahan dari IHR 2005. Regulasi kesehatan dunia ini mengatur hak dan kewajiban negara anggota WHO untuk melaporkan kejadian yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.

Siti Fadilah menjelaskan, prediksi akan adanya virus baru tidak hanya diperkuat dengan adanya gerakan WHO mengeluarkan undang-undang, melainkan juga serangkaian pelatihan yang dikoordinir WHO dalam menghadapi pandemi, hingga bermunculannya pandemi baru di sejumlah negara.

“WHO sudah melatih negara-negara miskin dan berkembang untuk membuat vaksin mRNA flu burung. Menurut saya itu (pandemi yang akan terjadi adalah flu burung), walaupun belum tentu betul. Tapi saya lihat isu yang sekarang banyak sekali, misalnya di Afrika itu Mpox atau ebola, serta China HMPV," paparnya.

"Kemudian Amerika, Australia, dan Kanada flu burung serta Florida TBC. Sepertinya, apakah mereka akan membuat epidemic-epidemic (beragam pandemi) ataukah pandemic yang seperti Covid-19? ada dua kemungkinan itu,” ucap lulusan Strata Tiga (S3) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Jakarta 1996 itu.

Siti Fadilah berharap pemerintah Indonesia mewaspadai penyebaran virus baru yang akan terjadi. Salah satunya dengan mendukung program Immunotherapy Nusantara.

Program ini dikembangkan Menkes periode 2019-2024 yang saat ini menjabat Penasehat Khusus Presiden Prabowo, Terawan Agus Putranto.

“Mudah-mudahan penasehat khusus presiden dapat menyampaikan kepada Pak Presiden. Immunotherapy-nya Pak Terawan bisa menjadi alternatif yang sangat bagus bila terjadi pandemic,” ucapnya.

Bahaya Pandemic Treaty, IHR Amandemen, dan Omnibus Law Kesehatan

Menkes RI periode 2004-2009, Siti Fadilah Supari menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang sejumlah undang-undang mengenai penanganan pandemi. Ia menilai terdapat sejumlah aturan yang berpotensi berbahaya dan dapat mengancam kedaulatan negara.

“Ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah. Satu, tolak Pandemic Treaty. Dua, mundur dari IHR amandemen. Tiga, cabut mandatory vaksin dari Omnibus Law Kesehatan,” ujar Siti Fadilah kepada Eddy Wijaya.

Dokter Ahli Jantung kelahiran Solo, Jawa Tengah, 6 November 1950 itu menjelaskan, Pandemic Treaty merupakan perjanjian yang merugikan negara-negara, karena WHO dapat mengintervensi langsung penanganan pandemi dalam negeri.

“Semua harus tunduk pada WHO, kasarnya seperti itu. Walaupun dibungkus sangat rapi seolah-olah Pandemic Treaty itu untuk keadilan, untuk memberikan vaksin ke seluruh dunia. Tapi sebetulnya kalau kita lihat pasal per pasal mereka merampas kedaulatan setiap negara,” ucap Siti Fadilah.

Setali tiga uang dengan Pandemic Treaty, Siti Fadilah menjelaskan, IHR amandemen juga bermasalah mulai dari pengesahannya hingga pasal-pasalnya yang membolehkan WHO mengambil alih urusan negara terhadap pandemi.

“Isinya seram banget pak. Dan ini mau nggak mau diketok (disahkan) oleh WHO walaupun dengan cara yang tidak fair. IHR ini pasal-pasalnya berisi teknik bagaimana (agar) kita tidak berdaya. Jadi apa-apa (terkait pandemi) yang urus mereka,” kata dia.

Begitupun dengan Undang-Undang Omnibus Law Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Siti Fadilah menilai beleid itu memuat pasal-pasal yang merujuk kepada Pandemic Treaty dan IHR amandemen.

Pasal yang dimaksud Siti Fadilah adalah pasal 446 UU Omnibus Law Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur sanksi pidana bagi orang yang tidak mematuhi atau menghalangi upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah dengan denda paling banyak Rp500 juta.

“Kalau ada orang yang tidak mau disuntik itu bisa dianggap menghalang-halangi program pemerintah, maka orang itu akan didenda Rp500 juta atau dipidanakan,” ucapnya.

“Kalau Omnibus Law ini dijalankan, kewajiban vaksin tidak untuk orang yang bepergian saja. Dari RT ke RT, RW, ke RW semua harus divaksin. Anak sekolah, orang yang lewat juga ditahan langsung divaksin. Mengerikan,” timpal Siti Fadilah. 

Sumber: harianmassa

Komentar