Dalam situs resminya, secara rinci, penjualan bersih turun 1% secara year-on-year menjadi US$ 9,11 miliar (Rp 149 triliun). Penjualan di toko yang sama perusahaan turun 3% pada kuartal tersebut, didorong oleh penurunan transaksi sebesar 5%.
Secara geografis, AS dan China mencakup 61% dari portofolio global perusahaan, dengan masing-masing memiliki 16.730 dan 7.306 toko gerai Starbucks. Namun, di AS, penjualan turun 6% dan untuk penjualan di toko yang sama di dalam negeri turun 2%,
Di luar Amerika Utara, penjualan toko yang sama turun 7%. Di China, pasar terbesar kedua Starbucks, penjualan di toko yang sama anjlok 14%.
Hasil tersebut muncul setelah laporan laba rugi pada April lalu yang mengecewakan dan menuai tanggapan keras di Wall Street. Apalagi, perusahaan yang berdiri di Seattle itu terus mendapatkan tekanan dari sejumlah warga yang memboikotnya karena dianggap mendukung aksi militer Israel dalam menyerang Gaza,
Kondisi itu mendorong Kepala Eksekutif (CEO) Starbucks Laxman Narasimhan untuk menjanjikan pemulihan. Narasimhan menekankan peningkatan pelatihan, manajemen karyawan, dan peningkatan teknologi yang membuahkan hasil. Menurutnya, hasil ini menunjukan bahwa cara ini berhasil untuk kembali menggenjot pasar.
"Indikator bisnis dan operasional membaik menjelang hasil keuangan kami dan landasan pacu kami masih panjang," ujarnya dalam rilis resmi itu.
"Kami memulihkan merek kami dari persepsinya. Kami membangun kembali fondasi operasional toko dan rantai pasokan kami," tambahnya.
Artikel Terkait
Kasus Misteri Kematian Terapis RTA di Pejaten: Pencabutan Laporan & 22 Saksi Diperiksa
Layanan Perjalanan Bisnis 24/7 AladinTravel: Solusi Efisiensi Perjalanan Dinas Perusahaan
Trump Tegaskan Alasan AS Lakukan Uji Coba Senjata Nuklir, Ini Kata-Katanya
Banjir Bandang Jati Padang 1.5 Meter: Kronologi & Dampak Jebolnya Tanggul Baswedan