OLEH: HENDARSAM MARANTOKO*
BEBERAPA waktu belakangan, Presiden Jokowi menyoroti berbelit-belitnya proses pengurusan izin di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam sambutan peluncuran digitalisasi perizinan event di The Tribrata, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (24/6).
Presiden Jokowi mengaku langsung lemas saat mengetahui penyelenggaraan MotoGP Mandalika harus membutuhkan 13 perizinan. Padahal Mandalika adalah bagian dari program strategis nasional sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika).
Fenomena ini menunjukkan betapa reformasi birokrasi belum terhubung dengan perubahan paradigma birokrasi di lintas sektor dan regional.
Kendati Presiden Jokowi sejak awal telah mendorong reformasi birokrasi, terutama hadirnya regulasi dan sistem penyederhanaan perizinan, serta berbagai gebrakannya. Namun, pada tingkat sektoral dan daerah masih menggambarkan adanya fenomena patologi birokrasi.
Larmour (2007) menguraikan bahaya patologi birokrasi yang dapat menjauhkan negara dari tipe ideal, sebuah negara semestinya harus memenuhi fungsi-fungsi keadilan dalam pelayanan publik.
Visi utama reformasi birokrasi Presiden Jokowi berintikan pada hadirnya kualitas pelayanan berkelas dunia (Road Map 2020-2024). Reformasi birokrasi akan menjadi ekosistem pembangunan dalam mencapai Indonesia emas 2045. Namun, ironi yang terjadi di wilayah praksis mencerminkan adanya gap antara spirit reformasi birokrasi dengan kualitas pelayanan yang dirasakan langsung oleh publik.
Pengejawantahan reformasi birokrasi seolah terdistorsi oleh agenda seremonial tahunan dengan pemeringkatan, penjuaraan dan penyerahan penghargaan. Tak sedikit di antaranya mengalami nasib buruk karena diberi predikat lampu merah -tanda kepatuhannya sangat rendah. Yang paling nahasnya, ketika dilaporkan adanya temuan.
Birokrasi Negara Melayani Negara
Pelayanan publik yang dijalankan oleh birokrasi kita masih terjebak pada paradigma kepatuhan formil. Praktik pelayanan publik seolah mengarah pada model “negara melayani negara”.
Model semacam ini meletakan urusan pelayanan publik hanyalah urusan menggugurkan tugas dan tanggungjawab negara, tanpa perlu memperdulikan kualitas dari pelayanan. Tidak sedikit birokrat yang lebih sibuk menghindari temuan BPK dan KPK daripada memberikan inovasi dan gebrakan bagi pelayanan berkualitas.
Audit BPK seolah jauh lebih gawat daripada nyawa seorang bapak kepala keluarga yang sekarat dalam deretan antrean pasien BPJS. Tidak heran pelayanan publik kita begitu lamban dan berbelit-belit.
Kepatuhan pada aspek formil tidak seharusnya mengabaikan kualitas pelayanan. Dalam paradigma reformasi birokrasi, kualitas pelayanan harusnya menjadi target utama ketimbang kepatuhan terhadap aturan formil.
Hubungan dikotomis yang tajam antara kepatuhan formil dan kualitas pelayanan menjadi masalah besar dalam paradigma birokrasi kita. Diperparah lagi dengan banyaknya aturan formil yang saling tumpang-tindih, di lintas sektor hingga regional.
Sedangkan di swasta, kepatuhan terhadap aturan formil juga diwujudkan dengan audit dan laporan berkala tetapi berkelindan dengan kualitas pelayanannya. Swasta mampu mengintegrasikan antara kedua aspek itu. Sementara pelayanan publik birokrasi menggambarkan dua unsur itu pada kutub yang berbeda, bahkan berlawanan.
Artikel Terkait
Gilang Paksa Hadiri Pemakaman Cindy, Istri yang Tewas Usai Bulan Madu: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
VIDEO CALL SEKS JEBAK PENGUSAHA SAWIT, UANG RP 1,6 MILIAR MELAYANG
Haru! Azan Pertama Berkumandang di Gaza Usai Gencatan Senjata Hamas-Israel, Suasana Damai Menyentuh Hati
Video Terakhir Cindy Istri Gilang Kurniawan: Anjay Nikah Sebelum Tewas Tragis Saat Honeymoon