Sri Mulyani Membahayakan Prabowo

- Sabtu, 22 Juni 2024 | 11:45 WIB
Sri Mulyani Membahayakan Prabowo

Padahal eksesnya dirasakan oleh masyarakat sekitar tol, mulai dari tanahnya yang harus dijual untuk pembangunan jalan tol, UMKM sekitar tol bangkrut, dan potensi ekonomi sepanjang jalan di pantai utara menjadi lemah, dan pada gilirannya daya beli masyarakat di kawasan itu menjadi lemah. Tidak heran jika di Jawa Tengah paling dominan masyarakat miskinnya di Indonesia, dan sekarang rentan dari ekses ekonomi yang buruk.


Jadi apa yang dapat dibanggakan dari pembangunan jalan tol? Tentu saja pujian dari kalangan menengah atas, karena menjadi lebih mudah, walaupun tidak berdampak positif pada ekonomi, khususnya biaya logistik.


Bisa dibayangkan, jalan tol di luar Jawa, dan Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung. Joko Widodo ambisius melaksanakan pembangunan infrastruktur tanpa melihat kemampuan negara dalam finansial,sehingga ambisinya yang didukung SMI dan BUMN menjadi beban, dan sekarang menjadi ancaman krisis bagi kita.


Risiko Kredit mengancam


Apa maksud Sri Mulyani Indrawati merilis bahwa Prabowo Subianto akan membuat kebijakan seperti; rasio pajak akan dinaikan menjadi 23%, padahal saat ini belum mencapai 11%? Apakah tidak disadari dampaknya secara ekonomi, karena yang merilis hal tersebut adalah seorang Menteri Keuangan Republik Indonesia.


Sri Mulyani harus bertanggung jawab secara teknis, karena pernyataannya berdampak pada penurunan peringkat risiko investasi dan utang Indonesia, serta berdampak terhadap pasar, misalnya: terjadi gejolak nilai tukar Dolar Amerika Serikat dan saham.


Pernyataan berikutnya lebih eksesif, karena Prabowo Subianto akan merealisasi penambahan utang 50% selama 5 tahun pemerintahannya.


Sri Mulyani gagal dalam kreativitas fiskal, karena pemimpinnya bermental “tukang palak”, dan sama sekali tidak mempunyai kemampuan tentang moneter.


Infrastruktur telah berekses pada ekonomi negara dengan beban utang negara. Dirilis bahwa pada tahun 2025 beban cicilan utang dari Rp 500 triliun (tahun ini) menjadi Rp 800 triliun. Negara yang dianugerahi kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintir orang (oligarki).


Saatnya rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi dari cengkraman oligarki (State Corporate Crime), sesuai tekad Prabowo Subianto akan membebaskan Indonesia dari korupsi, dan kembali kepada sistem ekonomi inklusif berbasis Pasal 33 UUD 1945.


Sekarang nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) masih sekitar Rp 16.500 per USD. Dan spekulan memanfaatkan situasi dengan memperburuk keadaan, sementara Bank Indonesia sibuk intervensi.


Di saat yang sama rakyat semakin terpuruk, dan ratusan ribu buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), daya beli anjlok. Pada gilirannya akan berdampak pada risiko utang di lembaga perbankan, dan jasa keuangan. Risiko NPL (Non Performing Loans) menghantui perbankan.


Sektor konsumsi (kredit mobil, KPR) terancam, dan semua sektor usaha berbasis impor akan menaikan harga, BBM (Bahan Bakar Minyak) otomatis naik, dan risiko NPL menyentuh pada UMKM yang relatif mempunyai keterbatasan cadangan dana. Sementara para taipan merasa aman, karena uangnya parkir di luar negeri dalam bentuk dolar Amerika Serikat.


Siapa yang harus bertanggung jawab, Prabowo Subianto atau Joko Widodo?


Harus menjadi tekad pemerintahan Prabowo Subianto ke depannya, untuk memberantas State Corporate Crime, memutus oligarki yang menjadi pemodal saat Pilkada dan Pilpres.


Membenahi fundamental ekonomi dan ketimpangan ekonomi menyongsong bonus demografi. Anak muda butuh teladan dan edukasi tentang kepemimpinan yang selama ini cerminannya buruk.


Kondisi saat ini perlu terapi kilat dalam mengatasi gejolak nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sri Mulyani harus “ditekan dan dikendalikan”, karena semua ini berawal dari ulah SMI yang didukung Joko Widodo. Prabowo perlu ahli ekonomi pasar yang teknokratis menjadi tim transisi dan sinkronisasi.


*Penulis adalah Ketua Yayasan Kalimasadha Nusantara

BERIKUTNYA

SEBELUMNYA

Halaman:

Komentar