Jumhur memaparkan, buruh itu sudah banyak sekali dapat potongan dalam gajinya, masa mau dipotong lagi. Kejam amat sih Pemerintah ini”, tegasnya.
Menurutnya kalau memang Pemerintah punya niat baik agar rakyat memiliki rumah maka banyak cara bisa dilakukan. Misalnya pengadaan tanah yang murah, subsidi bunga dan skema tanpa uang muka. Bisa juga mencarikan teknologi material yang bagus dan murah untuk perumahan.
Tak Ada Urgensinya
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti (Usakti) Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan Tapera sangat membebani buruh, hingga pemberi kerja karena harus menanggung 3% dari dananya untuk program tersebut. Dia mencontohkan, bila Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta sebesar Rp 5 juta artinya karyawan dan pemberi kerja harus membayar Rp 150 per bulan. Perinciannya, Rp 25 ribu oleh perusahaan dan Rp125 ribu ditanggung karyawan.
“Persoalannya apakah perusahaan mau? Berat itu, kalau perusahaan karyawannya sampai 1.000? Pelaku perusahaan akan menjerit itu. Apalagi di tengah karyawan yang dihadapkan iuran wajib BPJS,” ujarnya.
Trubus mengungkapkan, karyawan juga tetap harus membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan yang juga memiliki pilihan untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Sementara itu, mereka juga akan dibebankan dengan aturan Tapera ini. “Ini jadi berat buat dia, artinya ada tumpang tindih kebijakan yang memberatkan para pekerja,” ungkapnya.
Dia tak memungkiri, kebijakan ini ada niat baik dari pemerintah untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Namun, kata dia, aturan ini dikeluarkan tanpa ada sosialisasi ke publik yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait implementasinya.
“PP 21 ini belum ada urgensinya, tapi niatnya baik, ini keluar tanpa ada sosialisasi dulu tanpa ada komunikasi publik dulu, karena ujung-ujungnya masyarakat harus membayar. Artinya upah yang akan diterima akan semakin kecil, kita berharap pemerintah ke depan harus ikut memikirkan,” terangnya.
Gaji Dipotong
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bakal pro kontra terkait kebijakan Tapera. Menurutnya masyarakat memang pasti akan berhitung seberapa besar gaji yang bakal dipotong. Keberatan pasti akan muncul.“Iya semua dihitung lah. Biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," ungkap Jokowi ditemui di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).
Jokowi pun menyamakan kewajiban iuran Tapera lewat potongan gaji ini dengan iuran BPJS Kesehatan. Awalnya bagi masyarakat di luar penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan keberatan harus membayar iuran dari gajinya tiap bulan.
Namun seiring berjalannya program ini, masyarakat yang awalnya keberatan membayar iuran merasakan sendiri fasilitas kesehatan yang gratis.
"Seperti dulu BPJS, diluar yang PBI yang gratis 96 juta kan juga ramai tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," ungkapnya.
Sumber: harianterbit
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Shell dan TotalEnergies Catat Penurunan Laba, Ini Penyebab dan Proyeksi Harga Minyak
Hujan Es Tangerang 2025: Penyebab, Dampak, dan Penjelasan BMKG
Bestari Barus Buka Suara Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Ini Alasan Kontroversialnya
Kota Wisata Ecovia Cibubur: Hunian Hijau Harga 1,8 M oleh Sinar Mas Land