OLEH: DJONO W OESMAN
INVESTOR pernah curhat ke Menko Polhukam, Mahfud MD, begini: “Pak, di Indonesia ini yang rusak penegakan hukum dan birokrasi,” ujar Mahfud di Konferensi Hukum Nasional di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (25/10). “Maka, itulah yang harus kita benahi,” tambahnya.
Ibarat penyakit, itulah penyakit jantung Indonesia. Kronis-gawat. Bisa diartikan, bahwa hukum tidak tegak, birokrasi sengaja dibuat berbelit-belit. Keduanya menyatu ke korupsi. Aparat Penegak Hukum (APH) dan birokrat mencairkan (menjadikan uang) segala urusan.
Mahfud terkenal berani, blak-blakan. Hal yang ia katakan itu sudah jamak, diketahui mayoritas masyarakat Indonesia, dari dulu hingga kini. Tapi tidak ada pejabat tinggi negara yang berani mengatakan itu.
Mahfud: "Soal penegakan hukum, oke-lah… Kalau penegakan hukum itu kadang kala masalahnya adalah terjadi slintutan (Bahasa Jawa slank, artinya sembunyi-sembunyi). Ujung-ujungnya korupsi.”
Mahfud memberi contoh: "Misalnya, ada investor mau membangun pabrik baterai di Padang (Sumatera Barat). Sampai dua tahun, izinnya nggak keluar juga. Sebaliknya, ada investor lain yang baru (minta izin) tiba-tiba izin dikeluarkan. Karena, lewat di balik pintu. Saya kira itu yang harus kita bicarakan."
Diperjelas: "Jadi, kalau orang ndak nyuap, maka ndak jalan. Kalau nyuap, kalau ketahuan, dipenjarakan. Dibilang ia (investor) nyuap. Padahal ia (investor) sebenarnya diperas.”
Sebab, logikanya semua investor bersikap efisiensi. Tidak mungkin investor menyuap, yang berarti pemborosan investasi, jika ia tidak diperas oleh pemegang otoritas terkait investasi. Karena investor sengaja dipersulit oleh birokrat, maka investor daripada pusing-pusing lebih baik menyuap.
Mahfud punya contoh lain. Kasus korupsi terkait PT Duta Palma. Mahkamah Agung (MA) malah memangkas hukuman uang pengganti bos PT Darmex Group dan PT Duta Palma, Surya Darmadi, dari Rp42 triliun menjadi Rp2 triliun.
Diuraikan: "Uang pengganti Rp42 triliun itu dikabulkan oleh pengadilan. Betul perhitungannya. Pak Febrie Adriansyah (Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus), betul. Pengadilan mengabulkan, lalu diputus segitu. Tapi di MA dipotong. Nggak ada ini… kerugian keuangan negara. Yang benar hanya Rp2 triliun. Uang pengganti diturunkan."
Ia juga mencontohkan kasus Indosurya, yang membuat bos perusahaan tersebut bebas murni atas kasus penipuan dan penggelapan dana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya.
Mahfud: "Saya bilang ke Pak Kabareskrim Polri, kejar lagi, dari kasus lain. Juga kita sambil kasasi. Akhirnya divonis 18 tahun penjara dan denda Rp12 triliun, padahal semula bebas murni di putusan pengadilan. Nah, yang begini-begini kita harus sepemahaman dalam proses hukum, kalau kita ingin menyelamatkan negara ini.”
Dari dua contoh di atas terjadi saling-silang. Di kasus PT Duta Palma, terdakwa Surya Darmadi divonis Pengadilan Negeri harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp42 triliun. Tapi di tingkat Mahkamah Agung uang pengganti disunat jadi Rp2 triliun.
Di kasus KSP Indosurya, terdakwa Henry Surya oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Syafrudin Ainor divonis bebas murni. Tapi setelah naik kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 18 tahun penjara serta denda Rp12 triliun. Bedanya bagai langit dengan jurang.
Intinya hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung sama saja.
Ceplas-ceplos. Itulah Prof Mahfud. Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak 1984.
Di bidang investasi, Indonesia sangat menarik buat investor. Cantik dan menarik. Bak gadis desa yang cantik, tapi tidak berdandan. Polos apa adanya. Tapi punya kecantikan alamiah.
Artikel Terkait
BMKG Prediksi Puncak Musim Hujan 2025-2026 Lebih Lama, November hingga Februari
Emil Audero Siap Hadapi Juventus, Bekas Klubnya di Liga Italia: Preview & Link Live Streaming
KR, Pemasok Narkoba Onadio Leonardo yang Dibekuk di Sunter, Diungkap Polisi
Kecelakaan Maut di Merauke: Truk Tabrak Pejalan Kaki hingga Tewas, Pengemudi Kabur