Putusan MK Batas Usia Minimal Capres-Cawapres: Hipokrisi Demokrasi, Intrik Kekuasaan Dinasti

- Senin, 23 Oktober 2023 | 18:30 WIB
Putusan MK Batas Usia Minimal Capres-Cawapres: Hipokrisi Demokrasi, Intrik Kekuasaan Dinasti


Ini membuktikan bahwa kerusakan yang terjadi itu bukan hanya berhenti pada para penegak hukum ataupun penguasa sebagai personal ataupun sikap kelembagaan, namun juga kerusakan ini diidentifikasi pada sistem yang menjadi instruktur praktik politik dan hukum dalam sebuah institusi besar, yakni negara.

 

Sistem yang dimaksud adalah demokrasi, sistem politik ala barat ini lahir dengan sejarah yang panjang melalui berbagai asimilasi penerimaan masyarakat yang dinilai sebagai konsensus. Rakyat dipaksa menerima konsep demokrasi dengan gelas kosong tanpa bantahan sedikitpun.


Indoktrinasi mengenai demokrasi tak pernah berhenti sehingga kritik hanya berhenti pada "kesalahan pola asuh" Bukan pada "kerusakan esensial" sistem demokrasi itu sendiri.

 

Jika masyarakat, baik dari mahasiswa, pemuda, politikus itu berani menyuarakan kebenaran tentang buruknya sistem demokrasi, maka akan dianggap sebagai pengkhianat ideologis, tak Pancasilais atau tak bahkan sosialis komunis.


Padahal demokrasi secara historis hadir sebagai sebuah jalan sekularisasi hukum tata negara yang seharusnya tidak akan bisa diadopsi oleh bangsa yang sudah martabat dengan hukum konstitusi berlandaskan teologi.


Termasuk perkara ini, masyarakat yang mengkritisi hanya berhenti pada cara dan sikap tokoh tapi tidak pada landasan sistem yang menjadi rujukan seluruh praktik kotor politik sebagai dampak dari indoktrinasi.


Nepotisme yang katanya dilarang dalam demokrasi, tapi demokrasi sendiri memberikan peluang perubahan-perubahan hukum yang menyesuaikan keinginan kapitalis oligarki.


Jika kapitalis mau bahwa politik dinasti dan nepotisme itu ada dalam napas demokrasi, maka berbagai cara dilakukan demi tercapainya agenda besar oligarki.

 

Demikianlah demokrasi, yang digadang sebagai sebuah jalan perubahan, ilusi kedaulatan rakyat yang ditawarkan sebagai representasi nilai-nilai kerakyatan nyatanya tidak lepas dari penjajahan oligarki dan kepentingan kelompok nepotisme.


Penindasan hukum lewat pengendalian penegak hukum sangat menampar kenyataan bahwa legislasi hukum nyatanya bukan atas nama kepentingan rakyat.

 

Hegemoni kapitalisme tidak hanya menguasai wilayah perekonomian rakyat melalui tangan tangan investor jahat merebut hak rakyat dengan landasan "demi ekonomi negara", tapi juga pengendalian hukum dengan mengubah hukum semau penguasa dengan alasan "demi kepentingan rakyat".

 

Fenomena serupa pun terjadi lewat putusan MK mengenai usia minimal bacapres dan bacawapres dengan alasan memberikan peluang anak muda untuk berkontribusi dan berperan dalam aktivitas politik, nyatanya penguasa hanya ingin melanggengkan penjajahan lewat kekuasaan dinasti dan sarat akan nepotisme belaka.

 

Peran anak muda yang seharusnya dioptimalkan pada lini perjuangan mewakili opini masyarakat melalui aksi sosial dan demonstrasi terhadap kebijakan yang lalim nan zalim justru dibungkam, membusuk ditahan tanpa ada kepastian pelanggaran hukum.


Tetapi sebaliknya jika peran pemuda yang dimaksud adalah perhelatan dunia politik praktis yang sarat akan kepentingan kelompok, pragmatis-oportunis, hingga kapitalis oligarki maka tak perlu menunggu waktu lama, berbagai cara dilakukan mulai dari memberikan panggung untuk menjadi ketua umum partai hingga perubahan cepat undang-undang atau regulasi hukum yang menyangkut hal ini.


Alih-alih memberikan ruang pemuda untuk tampil sebagai agen perubahan justru melanggengkan penjajahan oligarki lewat boneka selanjutnya yang berasal dari kalangan pemuda.

 

Ironisnya, hipokrisi demokrasi tidak akan berhenti sampai sistem demokrasi ini diganti atau mati dengan sendirinya. Demokrasi menciptakan definisi sendiri demi memberangus ide-ide lain yang hadir sebagai alternatif solusi di tengah kecamuk masyarakat yang terdampak akibat kebijakan zalim. Ilusi inilah yang membelenggu negeri dan anak bangsa selanjutnya.

 

Akankah kita akan terus mengulang sejarah? Terus mempercayai bualan-bualan yang tak pernah ada ujungnya?


Percayalah ini bukan tentang siapa pelakunya, tapi apa sistem yang menjadi landasan hukum pergerakan dan praktik politik hari ini yang kian jauh dari nilai-nilai kedaulatan rakyat, yaitu demokrasi. 


*(Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Halaman:

Komentar