Kawin Tangkap, Cewek Ditangkap Lalu Dikawini

- Sabtu, 09 September 2023 | 13:31 WIB
Kawin Tangkap, Cewek Ditangkap Lalu Dikawini

Citra dibebaskan polisi. Tapi, kebebasan tidak otomatis membuat Citra senang. Sebab, masyarakat memberi stigma, bahwa Citra menolak adat budaya Sumba. Akhirnya Citra menikah dengan sang pacar.


Kejadian itu heboh. Sebulan kemudian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, datang ke Sumba Tengah, mencari tahu tentang itu.


Akhirnya, Bupati Sumba Tengah, Paulus SK Limu menandatangani kesepakatan, menolak kawin tangkap. Acara penandatanganan diselenggarakan di Waingapu, Sumba, 2 Juli 2020. Di hadapan Menteri PPPA, Bintang Puspayoga.


Bupati mengatakan: “Itu bukan budaya Sumba. Itu merendahkan wanita.”


Menurut data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap sepanjang 2016 hingga Juni 2020, termasuk kejadian yang menimpa Citra.


Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, kepada wartawan menjelaskan, bahwa kawin tangkap bukan budaya Sumba.


Frans: "Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua perempuan. Lalu pihak lelaki menanyakan ke pihak keluarga perempuan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme. Misalnya: Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?”


Jika pihak keluarga perempuan menjawab, ada, berarti mereka setuju anak gadis mereka dipinang pihak keluarga lelaki. Jika jawabannya, tidak, berarti mereka menolak. Dan, pihak keluarga lelaki tidak boleh memaksa.


Adat budaya Sumba anggun seperti itu. Bukan dengan tindak kekerasan penculikan.


Frans: “Kawin tangkap adalah tindakan kekerasan yang mengatasnamakan budaya Sumba. Awalnya mereka bertindak kekerasan, menculik, lalu menyekap anak perempuan yang diculik. Setelah berhari-hari berada di rumah pihak lelaki, perempuan itu akan terpaksa mau. Itu pemaksaan.”


Ketua DPRD Sumba Tengah, Tagela Ibi Sola, kepada wartawan Jumat (8/9) mengatakan, itu bukan bagian dari budaya Sumba. Melainkan kekerasan, atau tindakan kriminal pria terhadap wanita, yang di kemudian hari (pasca penculikan) akan diselesaikan oleh pihak penculik menggunakan kerangka budaya. Atau seolah-olah itu budaya Sumba.


Tagela Ibi Sola: “Jadi, itu tindak kekerasan, atau penculikan. Nantinya, setelah si perempuan disekap di rumah si pria, lalu dikawini, mereka tinggal serumah, barulah beberapa waktu kemudian digelar upacara perkawinan adat. Mereka sebut itu adat Sumba.”


Sekarang jelas, bahwa kawin tangkap adalah tindakan kriminal yang pelakunya sembunyi di balik adat budaya. Itu berlangsung sangat lama. Sehingga masyarakat merasa bahwa itu budaya Sumba.


Namun, di kasus yang terjadi Kamis (7/9) itu ternyata berbeda. Tidak seperti yang digambarkan di atas, bahwa kawin tangkap adalah penculikan. Ternyata di kasus ini beda.


Ibu kandung DM, bernama Martha Ngongo ketika dihubungi wartawan, menceritakan, bahwa penculikan itu terjadi atas permintaan dia kepada pihak calon besan.


Diungkap juga, antara DM dengan Yohanis Bili Tanggu (pemuda yang menculik) sudah saling kenal. Martha Ngongo setuju DM dinikahi Yohanis. Juga, keluarga Yohanis setuju punya menantu DM. Keluarga kedua pihak sudah setuju.


Martha Ngongo: "Saya sendiri yang menyuruh anak saya untuk dilakukan kawin tangkap. Saya yang melahirkan dia, sehingga saya berhak menentukan anak saya kawin dengan laki-laki yang saya pilih.”


Tapi, DM ogah dinikahi Yohanis. DM masih sekolah. Penolakan itu sudah dia katakan kepada ibunda. Sebaliknya, ibunda tetap memaksa, menimbulkan penculikan.


Olala… ternyata yang namanya kawin paksa, memang ada. Bukan adat Sumba. Tapi, kawin dipaksa ibunda.


Bagi masyarakat kota besar di Indonesia, sikap Martha Ngongo aneh. Sangat kuno. Tapi sikap itu masih dianut banyak warga desa. Budaya masyarakat kota sangat beda dengan di desa. Apalagi desa di Sumba.


Dalam sosiologi, ini sebut cultural lag. Keterlambatan budaya. Istilah 'cultural lag' dicetuskan Sosiolog Amerika Serikat, William F. Ogburn (29 Juni 1886 - 27 April 1959).


Ogburn dalam bukunya berjudul: About Culture and Change (1964) menyebutkan, budaya dibagi dua: Material dan nonmaterial.


Material terkait benda produk teknologi yang mengubah kebiasaan orang, sehingga menimbulkan budaya baru. Misal, perkembangan teknologi komunikasi yang cepat, membuat semua hal bisa didapat secara online. Termasuk informasi. Membentuk budaya baru.


Budaya nonmaterial tidak terkait benda. Melainkan kebiasaan masyarakat tradisional yang cenderung sulit berubah.


Ketika dalam suatu masyarakat terjadi benturan budaya antara yang modern dan kuno, itulah cultural lag.


Sikap masyarakat modern yang memberi kebebasan perempuan menentukan jalan hidup (termasuk memilih suami) tidak cocok dalam pandangan Martha Ngongo.


Menyikapi itu, tergantung individu yang terlibat. Tapi, masing-masing pihak (kuno-modern) wajib saling menghormati. Supaya tidak chaos. 


(Penulis adalah Wartawan Senior)

Halaman:

Komentar