Benarkah Anies Pengkhianat, Hingga Darahnya Halal Ditumpahkan

- Minggu, 03 September 2023 | 21:00 WIB
Benarkah Anies Pengkhianat, Hingga Darahnya Halal Ditumpahkan

Oleh: H. Dheni Kurnia*


"ANIES RASYID BASWEDAN (ARB) dituduh sebagai pengkhianat. Dan seorang pengkhianat, halal darahnya untuk ditumpahkan."


Masya Allah. Segitunya ancaman buat Anies. "Ancaman" ini, secara terang-terangan disampaikan Ketua DPD Partai Demokrat (PD) Sumut, M Lokot Nasution, setelah dapat kabar ARB bermanuver dengan Cak Imin (Ketua PKB Muhaimin Iskandar) untuk maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden RI ke depan.


Lokot yang geram, diaminkan oleh keberangan yang lainnya. Tentu saja sesama partainya; Demokrat. Bahkan Ketua Majelis Tinggi PD, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengangguk-angguk balam saja mendengar ucapan yang berkonotasi "sadis" tersebut. Seolah membenarkan?


Lokot yang marah tingkat tinggi, kepada wartawan mengatakan, "Di negara ini masih boleh orang salah. Tapi kalau berkhianat darahnya halal ditumpahkan. Ingat itu, negara ini lama dijajah Belanda kerena banyaknya pengkhianat," tegas Lokot.


Ucapan Lokot ini, tentu beda dengan tindakan Said bin Harits Al-Makzhumi yang mendapat perintah dari Rasulullah SAW menumpahkan darah Abdullah bin Khaththal. Awalnya, nama Abdullah adalah Abdul Uzza. Setelah masuk Islam, nama itu diganti oleh Rasulullah.


Rasulullah SAW sangat sayang pada Abdullah. Karena itu, dia ditugaskan untuk memungut zakat. Satu ketika, Rasulullah mengutusnya sebagai petugas zakat ke salah satu daerah di luar Madinah. Bersama salah seorang sahabat Anshar, yang dulu pernah pula menjadi budak Abdullah Khaththal, mereka pun berangkat.


Dalam perjalanan tugas, mereka berhenti di suatu tempat. Kemudian dia menyuruh sahabatnya, menyembelih kambing dan memasak untuknya. Setelah itu, Abdullah bin Khaththal tertidur. Tapi ketika ia bangun, dia melihat mantan budaknya tidak menjalankan perintahnya. Dia jadi geram dan berang. Kemudian ia menghukum sahabatnya sampai mati atau melayang nyawanya.


Setelah kejadian itu, Abdullah keluar dari Islam atau murtad dan kembali menjadi musuh Islam. Dan, saat peristiwa Fathu Makkah (penaklukan Mekah), Abdullah bersembunyi di salah satu pojok Ka’bah. Disinilah dia ditemukan oleh Sa’id bin Harits Al-Makhzumi dan Abu Barzah Al-Aslami. Di situ pulalah berlaku hukum Qisas dan pengkhianatan. Setelah mendapat izin, Said bin Harits menebas leher Abdullah dengan pedang. Darah pun tumpah membasahi tanah!


Dalam epos drama "Macbeth" karya William Shakespeare yang ditulis sekitar enam abad lalu, seorang Raja Skotlandia bernama Duncan, dibunuh oleh jenderalnya sendiri yang bernama Macbeth, karena menginginkan tahtanya. Padahal Raja Duncan adalah koalisinya, sahabatnya, bahkan jiwanya sendiri, "Fair is foul, and foul is fair".


Macbeth membunuh sahabatnya, karena ambisi istrinya, Lady Macbeth, yang ingin dia menjadi raja dan istrinya menjadi Ratu Skotlandia. Mereka mengira bahwa satu-satunya jalan menuju tahta raja dan ratu adalah melalui pedang. Darahpun tumpah. Raja mati di dalam kamar kediaman Macbeth.


Anak kandung sang Raja, Macduff, tentu saja marah besar dengan pengkhianatan ini. Begitu juga Banquo (jenderal yang lainnya). Macduff pun bersumpah, bahwa pengkhianatan terhadap ayahandanya harus dibalas dengan darah Jenderal Macbeth. Sumpah Macduff itu, agak-agak mirip dengan "sumpah" Lokot Nasution di Medan yang menyebut, seorang pengkhianat, halal darahnya ditumpahkan.


Benarkah pengkhianatan yang dituduhkan pada ARB itu harus dibayar dengan ditumpahkannya darah?


Entah juga ya! Saya sendiri merasa, seperti buaya dan katak; Entah iya entah tidak. Karena negara ini negara hukum. Hukum pertumpahan darah sangat berat, apapun masalahnya. Bisa-bisa jatuhnya ke Anirat atau penganiayaan berat. Hukumnya paling tidak bisa lima tahun penjara. Apalagi yang dianiaya itu cacat seumur hidup atau malah meninggal dunia. Repot juga Lae Lokot.


Jika Said bin Harits menumpahkan darah Abdullah bin Khaththal dengan menebas kepalanya, ada aturan di hukum Islam yang menghalalkan tentang itu. Ini namanya Qisas. Yakni hukum berupa perlakuan sama terhadap pelaku sebagaimana ia melakukan tindakan tersebut kepada korban.


Juga, jika Macduff bersumpah akan membunuh dan menghalalkan darah Macbeth serta istrinya yang berkhianat, karena menikam ayahnya Raja Duncan, juga masih diterima akal. Karena itu terjadi enam ratus tahun yang lalu. Ayahnya dibunuh dan anaknya balas dendam. Kayak cerita-cerita silat di film gitulah.


Nah. Kalau Lokot Nasution nenghalalkan darah ARB, dengan cara apa atau bagaimana? Pakai pedang atau pakai pistol. Atau pakai pecahan botol limun. Gak tahu juga kita ya. Bisa jadi pakai tali plastik. Dijerat lehernya, lalu darah mengalir dari (maaf) seluruh lubang pori-porinya. Wah!


Sebenarnya, yang kayak-kayak gini sudah sering terjadi di dunia politik. Bahkan ada yang lebih spektakuler dari kasus ini, hanya untuk duduk di kursi presiden. Skandal "Watergate" misalnya. Tragedi politik yang paling dahsyat dalam sejarah Amerika Serikat (AS) pada Juni 1972.


Pertengahan Juni itu, lima pria ditangkap di Markas Besar Komite Nasional Demokrat di hotel dan kompleks perkantoran Watergate, Washington, setelah dua wartawan; Bob Woodward dan Carl Bernstein, mengungkap skandal mata-mata dan sabotase politik besar-besaran di Gedung Putih untuk mengupayakan Richard Nixon terpilih kembali Presiden Amerika.


Ternyata Nixon (Partai Republik) telah melakukan kecurangan, dengan mengumpul ratusan ribu dolar AS dari para relawan, untuk membiayai kampanye rahasia dan mengacaukan strategi lawan politiknya (Partai Demokrat) . Hal seperti ini, jelas dilarang dalam konstitusi Amerika. Kecurangan itu, tidak saja mengenai fakta korupsi Partai Republik dalam pengumpulan dana pemilihan, tapi juga terbongkarnya daftar rahasia Gedung Putih dari lawan-lawan politiknya melalui penyadapan telepon, fitnah yang disebarkan terhadap calon Presiden dari Partai Demokrat.


Walaupun Nixon terpilih kembali November 1972 jadi Presiden, mayoritas anggota Demokrat di Senat membentuk komite untuk menyelidiki kampanye Pemilu itu. Hasil pemeriksaan, April 1973, Jaksa Agung AS, Richard Kleindienst, dan dua ajudan presiden Nixon, yang diduga terlibat, mengundurkan diri.


Nixon pun akhirnya menyerah. Dia kemudian menyerahkan sembilan kaset pada 20 Oktober 1973, yang berisi percakapan antara Nixon dengan John Dean, ajudannya, tiga hari setelah pecahnya skandal Watergate. Pembicaraan itu, rata-rata tidak terdengar jelas. Akibatnya, Komite Kehakiman DPR AS memilih tiga alasan pemakzulan Nixon. Pertama menghalangi penyidikan FBI, kemudian menyalahgunakan kekuasaan, dan yang ketiga menghina Kongres. Untuk menghindari pemakzulan, Nixon lalu mengundurkan diri.

Halaman:

Komentar