Nixon adalah presiden pertama AS yang mundur dari jabatannya. Dan pada 8 September 1974, pengganti Nixon, Gerald Ford, memberinya pengampunan total atas skandal Watergate. Untung tak ada darah yang ditumpahkan disini. Meski Partai Demokrat, meganggap Nixon dan partainya adalah pengkhianat, tapi akhirnya dia dimaafkan.
SBY dan Jokowi Juga Pernah
Sejarah mencatat dan sejumlah media juga hangat dalam pemberitaannya, bahwa SBY ayahnya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) pernah juga membuat manuver politik mengejutkan. Kala itu, Presiden Megawati Soekarnoputri, bertanya mengenai rencana keikutsertaan SBY (sedang menjabat Menkopolkam) apakah dia akan ikut dalam Pilpres 2004. Karena Megawati melihat elektabilitas SBY cukup bagus di mata masyarakat.
Kemudian Megawati, mengajak Menkopolkam-nya itu mendampinginya sebagai Cawapres. Tapi, menurut catatan seorang Pengamat Seni dan Politik, Darmawan Sepriyossa, SBY kala itu menolak. Dia menyebut bahwa dirinya tidak berminat atau ikut dalam kontestasi. Belakangan, semua orang Indonesia ternganga --termasuk Megawati-- karena SBY maju Pilpres 2004, melawan Megawati yang selama ini percaya saja SBY tidak akan maju. Hebatnya lagi, justru SBY yang terpilih jadi Presiden RI, padahal incumbent-nya adalah Megawati. Seperti terpegang bara hangatlah Mbak Ega.
Kata Darmawan, peristiwa itu jadi jurang dan terbuka lebar pada Februari 2021. Keluarga besar PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dibuat panas akibat tayangan ini. Saat itu melalui akun YouTube, mantan Sekjen Partai Demokrat, Marzuki Alie, bercerita bahwa pada 2004 SBY sempat mengajaknya bertemu di hotel. Di sana berlangsung obrolan soal ‘kecolongannya’ yang dialami Megawati.
Kata Marzuki, Pak SBY menyampaikan padanya, “Pak Marzuki, saya akan berpasangan dengan Pak JK (Jusuf Kalla). Ini Bu Mega akan kecolongan dua kali,” kata Marzuki, menirukan perkataan SBY. Dia menambahkan, kecolongan pertama, SBY pindah induk semang, kecolongan kedua, SBY ambil Pak JK. "Itu kalimat PK SBY,” kata Marzuki, seraya mempersilakan pernyataannya dikutip.
Lima tahun kemudian (2009), SBY kembali membuat manuver politik yang membuat koleganya kecewa. Kali ini wakilnya, Wapres Jusuf Kalla. Pasalnya, Kalla yang saat itu berpikir masih akan ‘dipakai’ ternyata ditinggalkan. "Prosesnya juga berlangsung diam-diam," tulis Darmawan.
DetikNews pada Kamis, 14 Mei 2009 menulis, SBY memilih Boediono sebagai Cawapres. Penetapan Boediono sempat menuai kecaman. Karena partai pendukung koalisi yang dibangun PD saat itu seperti PKS, PAN, serta PPP tidak diajak ikut berembuk. PAN saat itu bahkan sempat melayangkan protes, meski kemudian menyatakan memahami jua.
Situasi sempat tegang dan cukup memanas waktu itu. Menurut Pengamat Politik, Tjipta Lesmana, SBY seorang takabur dan sombong. “Langkah SBY yang diam-diam memilih Boediono sebagai Cawapres telah melecehkan partai koalisi pendukung. Tindakan itu merupakan sebuah kesombongan dan sikap takabur SBY. Karena SBY seolah-olah sudah menjadi presiden mendatang,” kata Tjipta.
Dia juga mengingatkan ucapan SBY yang secara terbuka pernah menyatakan lima kriteria Cawapres, salah satunya harus berasal dari partai politik. Nyatanya, SBY justru memilih Boediono yang tidak mewakili unsur Parpol. “Tindakan SBY tersebut bisa dikatakan inkonsisten. Ucapannya berbeda dengan perbuatannya,” sebut Tjipta.
Tetapi SBY kurang mendengar sejumlah kritikan yang diarahkan kepadanya. Bersama Boediono ia terpilih dengan suara meyakinkan, 73.874.562 suara atau 60,80 persen. Sementara pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79 persen, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meraih 15.081.814 suara atau 12,41 persen.
Darmawan Sepriyossa juga mencatat, lima tahun lalu, Maret 2018, SBY membuka alasan pemilihan JK dan Boediono di masa lalu. Menurut Presiden ke-6 itu, seorang Capres dalam memilih calon Cawapres harus melihat integritas, kapasitas, dan terutama kecocokan. Selain itu, yang perlu dicermati adalah peluang untuk menang. “Jangan keliru memilih pasangan yang salah, kemudian tidak berhasil. Itu yang saya jadikan patokan dulu,” kata SBY dalam video yang diunggah di akun Facebooknya.
Selain SBY, konon, seorang Presiden yang kini masih menjabat, Joko Widodo (Jokowi), pernah pula membuat masyarakat terperangah. Ketika itu yang kena "prank politik" adalah Menkopolkam saat ini, Mahfud MD. Menurut Mahfud kepada masyarakat luas tanpa malu-malu, dia dipanggil Presiden Jokowi, ditawari jadi Cawapres dan disuruh siap-siap untuk deklarasi.
Tentu saja kita tidak tahu apa yang berkecamuk di hati Mahfud MD, saat ditawari Presiden Jokowi sebagai Wakil Presiden. Setelahnya, kita juga gak paham apa isi hati Mahfud MD, ketika tersadar yang dipilih Jokowi sebagai Cawapres bukan dirinya. Tapi Ma'ruf Amin, yang jauh lebih sepuh darinya. Padahal baju putih untuk deklarasi, baru saja selesai dijahit.
Tapi meski SBY dan Jokowi pernah melakukan manuver politik, mirip kasus Anies Baswedan, gak ada yang bilang mereka pengkhianat dan darahnya halal ditumpahkan. Karena akhirnya, toh masyarakat menjadi faham sendiri bahwa kebenaran, kejujuran dan kesetiaan dalam politik itu, tidaklah ada. Kebenaran dalam politik, kata teman saya Mukidi, adalah kepentingan.
Kalau Surya Paloh (Nasdem) sebagai sponsor ARB merasa Cak Imin lebih menguntungkan disandingkan dengan Anies, untuk apa lagi pentingnya AHY (PD). Sebaliknya jika AHY merasa ARB tidak begitu penting untuk karirnya ke depan, ya sudah, banting stir ke arah lain. Selesai dan gak perlu ada kecam- mengecam, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah.
"Pertumpahan darah itu adanya di zaman Belanda. Jaman digital ini, yang ada like, share and comment," kata Mukidi.
Saya bukanlah pendukung fanatik ARB, Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Yang pasti saya akan menggunakan hak pilih saya pada Pilpres mendatang. Andai teman saya, Ustadz Abdul Somad (UAS) atau guru saya Ustazd Mustafa Umar (UMU) mau jadi Capres, saya akan memilih dia. Itu saja. Saya serahkan sepenuhnya kebijakan UAS dan UMU untuk memilih wakilnya.
Andai mereka tidak maju. Ya ndak apa-apa. Saya terpaksa memilih juga. Yang terbaik dari bewarna-warni pilihan. Ada yang suka menghajar meja, ada yang suka nonton film dan ada pula yang menjadi peramal cuaca; perubahan arah angin. Pokoknya saya ikut memilih. Meski ternyata nanti pilihan saya salah. Meski nanti ternyata pilihan saya tidak amanah dan suka menaikkan harga-harga. Pokoknya saya memilih. Mudah-mudahan saya gak salah mencucuk hidung atau kening di gambar Capres dan Cawapres
Gak perlu ada pertumpahan darah. Tak perlu memperdebatkan halal atau haram dan menyakiti seseorang. Meski Megawati mencabut Ganjar sebagai Capres karna pollingnya rendah, meski Golkar dan PAN menarik dukungan ke Prabowo, atau bahkan nanti Anies tak jadi berpasangan dengan Cak Imin, saya bersumpah tidak akan berdarah-darah. Karena PMI sudah kesulitan mencari pendonor darah. Salam!
*) Penulis adalah wartawan senior, Karateka (Pemegang Sabuk Hitam Dan V), Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau
Artikel Terkait
Kebakaran Maut Terra Drone: Izin Laik Fungsi Era Jokowi-Ahok Dipertanyakan
Anggaran K/L Dikembalikan Rp 4,5 Triliun, Menkeu Purbaya Ungkap Penyebab Penyerapan Lambat
Insiden Penyerangan WNA China ke Anggota TNI di Tambang Emas Ketapang: Kronologi & Fakta Terbaru
Kritik Rencana Sawit Papua Prabowo: Swasembada Energi vs Ancaman Deforestasi