"Sistem proporsional tertutup yang diterapkan kala itu dinilai telah menghasilkan wakil-wakil yang lebih merepresentasikan kepentingan elite parpol dibandingkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pengalaman buruk tersebut membawa para pembentuk undang-undang pada tahun 2003 untuk menjatuhkan pilihan kebijakannya pada sistem proporsional terbuka,” terangnya.
Kedua, sejak awal reformasi pembentuk undang-undang telah menyepakati sistem proporsional terbuka, bukan proporsional tertutup.
Perdebatan yang terjadi terkait pilihan sistem ini hanya pada varian yang hendak diterapkan, apakah dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan persentase angka BPP atau bukan.
Ketiga, MK lebih pada mengambil posisi untuk memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka tersebut dengan menghilangkan syarat perolehan BPP dalam penentuan calon terpilih.
Langkah tersebut diambil karena hal ini yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip prosedural demokrasi yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Menurut Khairul, sistem proporsional terbuka telah dilegitimasi oleh MK melalui Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Hingga saat ini, sama sekali tidak terdapat alasan konstitusional yang kuat bagi MK untuk mengubah pendiriannya.
Fahmi menjelaskan, jika MK hendak merubah pandangan dari apa yang sebelumnya telah dituangkan dalam putusan tersebut, menjadi tidak tepat jika MK mencoba membalikkan atau mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.
Sebab, pilihan sistem proporsional terbuka tersebut pada awalnya merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, di mana MK lebih pada posisi menggeser variannya ke pendulum (varian) yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip demokrasi. Artinya, MK bukan pada posisi mengganti satu sistem dengan sistem lainnya.
Sedangkan Zainal Arifin Mochtar dalam persidangan secara daring mengatakan, pemilu dengan segala sistem dan fitur-fiturnya merupakan open legal policy para pembentuk undang-undang.
Artinya, pilihan bagi pembentuk UU untuk memilih sistem pemilihan yang lebih sesuai dan kompatibel dengan suatu negara dan tujuan yang ingin dicapai dalam sistem pemilihan.
"Baik sistem proporsional terbuka suara terbanyak maupun proporsional tertutup, keduanya sangat mungkin digunakan oleh karena disesuaikan dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aturan kepemiluan. Walau harus diakui secara praktik, sangat jarang tujuan itulah yang akan menjadi panduan utama, sebab banyak alasan dibalik pemilihan sistem pemilihan, tetapi biasanya lebih bernuansa politis," kata dia.
Sumber: kumparan.com
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Masa Depan IKN Nusantara Suram: Ancaman Kota Hantu dan Realita Pendanaan yang Terkikis
Update Harga BBM Pertamina 31 Oktober 2025: Dexlite & Pertamina Dex Naik!
Update Banjir Jakarta: 11 RT di Jaksel Masih Tergenang, Ini Daftar Lengkapnya
Serangan KKB di Yahukimo: Warga Pendatang Jadi Korban, Aparat Kejar Pelaku