GELORA.ME - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mendesak Komisi pemberantasan korupsi (KPK) agar memeriksa tim transisi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang diduga terlibat melakukan pergeseran APBD Sumut yang akhirnya menyebabkan korupsi Kadis PUPR Topan Ginting terungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Pasalnya, proyek jalan yang menjerat Kadis PUPR Topan Obaja Ginting, ternyata tidak ada dalam perencanaan anggaran tahun berjalan.
Namun, proyek itu kemudian tiba-tiba muncul dan mendapatkan alokasi anggaran.
Adapun tim transisi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang terlibat dalam pergeseran anggaran di antaranya; Dida (Ketua Kadin yang menjadi Komisaris Utama Bank Sumut), Yudha (Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi), Wahyu (Dosen USU), Khafi (Komisaris KIM), Dicky (Sekretaris Bapemdabalitbang Provsu), dan Ricky (Keluarga Bobby Nasution).
Selain itu, KPK juga didesak harus memeriksa Bobby Nasution.
Manajer Riset Seknas Fitra Badiul Hadi, Selasa (26/8/2025) malam menegaskan bahwa OTT kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara dan dugaan pergeseran anggaran APBD menuju proyek infrastruktur jalan membuka kembali problem klasik tata kelola keuangan daerah: minimnya transparansi, lemahnya partisipasi publik, serta rentannya kebijakan fiskal dijadikan instrumen rente politik.
"Pergeseran anggaran diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, di mana perubahan alokasi anggaran seharusnya dibahas bersama DPRD melalui mekanisme perubahan APBD, dan tidak bisa diputuskan sepihak oleh eksekutif apalagi oleh tim non struktural," jelas Badiul.
Selain itu, ujarnya, jika benar dugaan bahwa tim efisiensi APBD diisi oleh kerabat dan eks tim sukses politik, maka praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance dan akuntabilitas publik sebagaimana digariskan dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menekankan pentingnya pencegahan nepotisme dalam pengelolaan anggaran.
"Kasus ini semakin krusial mengingat KPK sebelumnya telah melakukan OTT terhadap Kadis PUPR Topan Ginting terkait proyek jalan senilai Rp 231,8 miliar," katanya.
Di titik ini, ungkapnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci.
"KPK harus segera menindaklanjuti memeriksa para pihak yang diduga terlibat, untuk memastikan apakah pergeseran anggaran tersebut merupakan kebijakan sah ataukah menjadi bagian dari modus korupsi terstruktur," jelasnya.
KPK hingga saat ini belum memeriksa Bobby Nasution dalam perkara tersebut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sempag menyatakan pihaknya akan memanggil Bobby jika memang penyidik membutuhkan keterangannya.
“Bila dibutuhkan informasi dan keterangannya, maka penyidik tentu akan melakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan,” kata Budi Juli lalu.
Kata Badiul, penundaan pemeriksaan hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa ada perlakuan khusus terhadap pejabat politik.
"Dan bisa menggerus kepercayaan publik pada KPK," tegasnya.
Di lain sisi, DPRD Sumut sebagai lembaga pengawas anggaran juga tidak boleh diam.
"Mekanisme check and balance melalui hak interpelasi atau hak angket seharusnya digunakan utk meminta pertanggungjawaban Gubernur, mengingat pergeseran anggaran APBD tanpa pembahasan resmi dengan legislatif merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas publik," katanya.
Dugaan keterlibatan Bobby menurut Fitra
Peneliti Fitra Sumatera Utara Elfenda Ananda mengungkapkan dugaan keterlibatan Gubernur Sumut Bobby Nasution dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang melibatkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Topan Obaja Putra Ginting.
Menurut Elfanda, Bobby patut dicurigai terlibat karena menggeser Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2025 dari sejumlah dinas ke Dinas PUPR.
Elfenda menyatakan pergeseran anggaran itu mencapai Rp 425 miliar.
Total anggaran Dinas PUPR Sumut tahun ini melonjak menjadi Rp 1,25 triliun dari sebelumnya hanya sekitar Rp 800 miliar.
Yang jadi masalah pergeseran anggaran itu seharusnya dialokasikan untuk kegiatan produktif seperti alat pertanian, permodalan usaha kecil.
"Bukan untuk pembangunan jalan. Akan tetapi di usaha - usaha produktif, tidak ada fee seperti di Dinas PUPR. Dan terbukti pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar yang anggarannya masih digeser dari anggaran dinas lain malah sudah jadi bancakan. OTT (Operasi Tangkap Tangan) Topan Ginting menjadi bukti," kata Elfenda.
Diketahui bahwa KPK menangkap Topan Ginting dan sejumlah orang lainnya pada di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 26 Juni 2025.
Penangkapan itu berhubungan dengan suap dalam proyek pembangunan jalan di Sumut.
Proyek pertama berada di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, meliputi pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labusel senilai Rp 96 miliar dan pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp 61,8 miliar.
Proyek kedua berada di Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara, yakni meliputi preservasi Jalan Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI untuk tahun anggaran 2023 senilai Rp 56,5 miliar, proyek serupa untuk tahun 2024 senilai Rp 17,5 miliar, serta rehabilitasi dan penanganan longsoran di ruas jalan yang sama untuk tahun 2025.
“Dengan adanya proyek jalan tersebut senilai Rp 231,8 miliar, maka kami memutuskan ini karena sudah ada pergerakan uang,” kata Asep saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Sabtu (28/6/2025) lalu.
Menurut Elfenda praktik pergeseran anggaran itu juga terjadi di era Penjabat Gubernur Sumatera Utara Agus Fatoni.
Proyek jalan Sumatera Utara yang kemudian diusut oleh KPK, kata Elfenda, sebenarnya belum ada anggarannya.
"Padahal uang untuk pembangunan jalan masih dicari dan akan digeser dari dinas - dinas lain ke Dinas PUPR. Seolah - olah anggaran proyek pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar itu sudah tersedia sehingga kontraktor tergiur dan berani memberikan imbalan alias uang muka."
"Semua itu terjadi diawali dari keinginan Gubernur Sumut Bobby Nasution membangun jalan meski anggaran belum tersedia," beber Elfenda.
Elfenda juga mengkritik cara Bobby melakukan efisiensi anggaran dengan cara memotong anggaran dari dinas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bobby, ujarnya, mengalihkan anggaran itu untuk pembangunan jalan dengan dalih situasi darurat.
"Tim efisiensi APBD bentukan Bobby Nasution tidak boleh melakukan pemotongan anggaran dari berbagai dinas dan mengalihkannya dengan dalih situasi darurat untuk pembangunan jalan di Sumut."
"Pembangunan jalan bukan termasuk kategori darurat sesuai Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 1 Tahun 2025 yang selalu dijadikan dasar hukum oleh pemerintah daerah melakukan pergeseran anggaran," jelas Elfenda.
Dia menegaskan bahwa tim efisiensi APBD seharusnya hanya berfungsi sebagas menyarankan efisiensi anggaran, bukan mengalihkannya apalagi sampai ikut mengeksekusi.
Apalagi tim efisiensi APBD bentukan Bobby Nasution sarat dengan nepotisme.
"Saya dengar dan ikuti dalam pemberitaan, tim efisiensi APBD Sumut bentukan Bobby sebagian besar tim sukses dan keluarga dan sepupu Bobby."
"Beberapa diantaranya mantan tim pemenangan Bobby bernama Yudha Johansyah dan Firsal Mutyara. Mestinya tim efisiensi anggaran bukan tim sukses apalagi keluarga agar tidak ada konflik kepentingan," tutur Elfenda.
Artikel Terkait
Serakahnomics: Ancaman Penjajahan Gaya Baru yang Wajib Kita Lawan Bersama!
Gaji DPR Cair Seumur Hidup, Prof Faisal Santiago: Ini Bentuk Ketidakadilan!
Jokowi Didesak Tak Ganti Kapolri, Benarkah Upaya Giring Opini Publik untuk Prabowo?
Kejagung Malah Memohon ke Pengacara Silvester, Bukannya Buronkan: Apa Motif di Baliknya?