Kolonel Purnawirawan Yang Tak Lagi Diam: Suara Dari Dunia Intelijen!
Oleh: Agus M. Maksum
Di negeri ini, kita terbiasa mendengar istilah “mantan intel.” Tapi sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, kita mendengar mereka bicara.
Dunia mereka tertutup, senyap, dan diselimuti kode etik yang tak tertulis: loyalitas, kerahasiaan, dan kesetiaan pada negara—seringkali tanpa ruang untuk bertanya, apalagi mengoreksi.
Namun, Kolonel Infanteri (Purn.) Sri Rajasa Chandra memutuskan keluar dari diam.
Ia tidak bicara karena ingin panggung. Ia tidak tampil untuk sensasi.
Ia berbicara karena merasa ada kebenaran yang dikubur terlalu dalam, dan negeri ini butuh orang yang masih berani menggali.
Nama Sri Rajasa Chandra memang tidak populer.
Tapi di lingkungan intelijen dan operasi senyap, ia adalah nama yang dikenang.
Ia bukan tipikal perwira kantor yang menikmati karier di balik meja.
Ia adalah sosok lapangan, terlibat langsung dalam operasi di wilayah konflik seperti Aceh, menyusup di tengah ketegangan, menyamar di antara sumbu-sumbu kemarahan.
Ia pernah hidup dalam dunia infiltrasi, menyusuri apa yang disebut “garis dalam” metode penyusupan ke jantung kekuatan lawan yang hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang.
Dan dari pengalaman itulah, ia memiliki satu keahlian khusus: membaca kebohongan dari selembar kertas.
Sri Rajasa adalah spesialis dokumen. Ijazah, paspor, visa, bahkan kuitansi proyek ia bisa membedakan mana yang lahir dari sistem legal negara dan mana yang dibuat jaringan ilegal.
Ia tidak hanya tahu, tapi juga mampu melacak siapa pembuatnya, kapan diproduksi, dan untuk kepentingan siapa.
Inilah keahlian yang kemudian membawanya ke ruang publik dalam isu sensitif: dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi.
Ia tidak berspekulasi. Ia tidak mengandalkan rumor. Yang ia bawa adalah potongan-potongan informasi dari berbagai simpul, saksi-saksi lapis dalam, dan jejak digital serta fisik yang tak terbaca publik.
Salah satu pusat perhatian dalam kesaksiannya adalah Pasar Pramuka, yang ia sebut sebagai jantung produksi dokumen palsu di Indonesia.
Apakah ini teori konspirasi? Tidak. Setidaknya, tidak menurut Sri Rajasa—karena ia pernah hidup di dunia konspirasi itu sendiri, dan tahu persis cara kerjanya.
Keberanian Sri Rajasa bukan hal baru. Ia pernah ditahan karena bersikukuh pada kebenaran dalam konflik internal.
Ia memilih mundur dari jabatan strategis di BNPB karena menolak kompromi integritas.
Ia bahkan dibungkam saat pelatihan di Amerika karena menolak mengikuti narasi anti-Islam.
Dengan jejak ini, ketika ia kembali bicara, sulit untuk mengabaikannya begitu saja.
Ia menyampaikan pandangannya bukan dengan teriakan, tapi dengan data.
Bukan dengan kebencian, tapi dengan keyakinan bahwa publik berhak tahu, dan negara wajib jujur.
Sri Rajasa mungkin hanya seorang purnawirawan di atas kertas.
Tapi bagi mereka yang mengerti dunia intelijen, ia adalah peta lama yang masih bisa dibaca di saat banyak kompas moral hari ini telah kehilangan arah.
Ia bukan pahlawan. Tapi dalam situasi di mana terlalu banyak orang sibuk berpura-pura tuli, keberaniannya menjadi suara yang menggugah.
Profil Singkat: Kolonel Infanteri (Purn.) Sri Rajasa Chandra
- Latar Karier: Mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN); aktif dalam operasi sensitif, termasuk di Aceh.
- Keahlian: Operasi infiltrasi “garis dalam”, analisis dokumen palsu, investigasi jaringan ilegal.
- Pengalaman Lapangan: Verifikasi ijazah, paspor, hingga proyek fiktif; ahli dalam pelacakan sumber pembuatan dokumen.
- Integritas: Pernah ditahan, mundur dari jabatan, dan dibungkam karena mempertahankan prinsip.
- Reputasi: Sering diundang media sebagai narasumber intelijen; dikenal sebagai eks-BIN yang masih disegani.
Mengapa Suaranya Perlu Didengar?
1. Ia tahu cara kerja sistem: Beroperasi langsung di medan konflik dan zona abu-abu kekuasaan.
2. Ia paham teknis dan jaringan: Termasuk pengungkapan praktik pemalsuan dokumen di Pasar Pramuka.
3. Ia punya keberanian moral: Tidak hanya bicara saat nyaman, tapi tetap bersuara meski berisiko.
4. Ia punya rekam jejak: Diakui lembaga, dicatat media, dihormati jaringan.
Di tengah kabut informasi dan pembentukan opini yang semakin dikendalikan narasi elite, kita membutuhkan orang-orang seperti Sri Rajasa Chandra.
Bukan untuk percaya membabi buta, tapi untuk mengingatkan bahwa negara tidak boleh dibiarkan berjalan dalam gelap dan rakyat berhak bertanya, bahkan saat jawabannya tidak nyaman.
Kadang, suara yang paling berharga datang dari tempat yang paling senyap. ***
Artikel Terkait
Kode Keras dari Gibran? Analis Ungkap Pesan Rahasia di Balik Foto Makan Siang dengan Dasco!
Bahlil Klarifikasi Isu Gibran Tak Salaman: Salah Ambil Gambar Itu!
Abraham Samad Bakal Diperiksa Polisi Besok Lusa di Kasus Ijazah Jokowi
Roy Suryo Cs Mangkir Panggilan Polisi, Ini Alasannya