OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
DI negeri yang mengklaim diri menuju "Modernisasi Digital”, hukum ternyata masih gagap membaca kode. Kepolisian yang sejatinya adalah benteng hukum terlihat seperti kehilangan kompas di tengah cyber masquerade: panggung di mana para aktor dunia maya menari dengan topeng-topeng anonim, sementara aparat sibuk menebak siapa di balik bayangan.
Nama “Fufufafa” menjadi simbol kegagapan itu sebuah entitas yang tak terungkap, tak tersentuh, namun menggema di ruang publik seperti hantu dalam mesin (ghost in the machine).
Ironisnya, di negeri yang gagal memetakan jejak Fufufafa, Kepolisian justru dengan heroik mengumumkan keberhasilan menangkap Bjorka, seorang peretas yang konon membocorkan data rahasia negara.
Namun sejarah kecil di ruang siber mencatat, Bjorka hanyalah satu dari banyak “nama sandi” yang menjadi mitos penegakan digital: sebuah teater kebanggaan palsu yang dikemas dalam narasi law enforcement drama, agar publik percaya bahwa negara masih berdaulat atas ruang maya. Padahal, digital sovereignty kita sebenarnya rapuh, seperti sistem keamanan yang berlubang oleh tangan-tangan sendiri.
Dalam lanskap cyber law, kedaulatan digital seharusnya bertumpu pada transparency, accountability, and proportionality. Namun yang terjadi justru sebaliknya: hukum berubah menjadi alat spektakel (lawfare spectacle).
Kasus Bjorka dijadikan panggung pembuktian semu bahwa negara mampu menegakkan hukum, meskipun yang ditangkap bukanlah dalang sebenarnya, melainkan figuran yang mudah dikorbankan untuk menciptakan efek psikologis: techno-anxiety.
Masyarakat dipaksa percaya bahwa ancaman digital telah dikendalikan, sementara epistemic chaos kekacauan pengetahuan tentang siapa pelaku sebenarnya terus dipelihara agar rasa takut tetap hidup. Ini bukan sekadar kegagapan teknologi, tetapi juga kegagapan epistemik: negara tak tahu, dan sekaligus tak mau tahu, kebenaran yang mengancam wajahnya sendiri.
Dalam konsideran hukum, Pasal 1 angka (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun hukum macam apa yang lahir dari kebingungan algoritmik? Ketika aparat sibuk menuduh bayangan, ketika penyelidikan bergeser menjadi trial by press conference, ketika siber dijadikan ruang teatrikal untuk mengalihkan sorotan dari korupsi data dan kolusi digital maka yang tersisa hanyalah simulacra of justice: citra keadilan yang meniru dirinya sendiri.
Artikel Terkait
Inara Rusli Dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Wardatina Mawa, Tersangkut Dugaan Selingkuh dengan Suami Orang
Pimpinan Hizbullah Tewas dalam Serangan Israel di Beirut, Eskalasi Konflik Memanas
Rizki Nur Fadhilah Pulang: Kronologi Lengkap & Fakta Kontroversi Korban TPPO Kamboja
Belanda Cabut Sanksi Nexperia: Sinyal Positif bagi Pemulihan Rantai Pasok Chip Global