GELORA.ME - Akademisi dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Prof. Sulfikar Amir, menanggapi riwayat pendidikan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Belum genap setahun menjabat sebagai Orang Nomor Dua RI, Gibran telah diterpa isu mengenai keabsahan ijazah dan data pendidikannya, isu yang sama yang juga menerpa sang bapak, Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Data pendidikan Gibran yang dipakai untuk mendaftar sebagai calon wakil presiden RI (cawapres) pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 lalu dinilai janggal.
Terutama pada pendidikan menengah yang menurut data di Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), yakni:
- (setara SMA), Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004
- (setara SMA), University of Technology Sydney (UTS) Insearch di Australia, tahun 2004-2007
- (Sarjana atau S1), Management Development Institute of Singapore (MDIS), tahun 2007-2010
Sulfikar Amir pun mempertanyakan, bagaimana Gibran bisa menempuh studi di MDIS, sedangkan pendidikan menengahnya dinilai tidak memenuhi syarat apabila menilik standar di Singapura.
Hal ini dia sampaikan ketika menjadi tamu dalam podcast atau siniar Abraham Samad Speak Up yang diunggah di kanal YouTube milik Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Kamis (2/10/2025).
Sistem Pendidikan di Singapura dan Penyetaraan Jenjangnya dengan Sekolah di Indonesia
Awalnya, Associate Professor di bidang Science, Technology, and Society (STS) pada School of Social Sciences NTU ini menjelaskan detail jenjang pendidikan menurut sistem di negara pulau di ujung Semenanjung Malaya tersebut.
Menurut Fikar, sapaan akrab Prof. Sulfikar Amir, sistem pendidikan di Singapura mengikuti sistem pendidikan British atau Inggris.
Siswa di Singapura menyelesaikan jenjang pendidikan dasar selama 6 tahun yang disebut Primary School, sama seperti jenjang sekolah dasar (SD) di Indonesia.
Lalu, setelah lulus dari Primary School, siswa akan lanjut ke Secondary School yang durasinya empat tahun.
Jika sudah selesai Secondary School, maka siswa menempuh tes yang disebut O Level atau Ordinary Level, baru setelah itu mereka punya pilihan berdasarkan nilai tes atau minatnya untuk lanjut pendidikan tinggi.
Siswa yang nilai O Level-nya bagus dan tinggi, biasanya dapat masuk ke A Level atau Advance Level, atau disebut juga Junior College (JC) di Singapura.
Sementara, siswa yang nilai tes O Level-nya rendah tetapi berminat untuk cepat bekerja, bisa masuk ke politeknik dengan durasi studi selama tiga tahun.
"Untuk yang lulus dengan nilai O Level relatif tinggi, mereka biasanya masuk ke A Level atau Advance Level. A Level kalau di Singapura itu disebutnya JC atau Junior College," kata Sulfikar.
"Nah, di Singapura itu banyak Junior College. Ada National Junior College, Temasik Junior College, Pioneer, Jurong, macam-macam ya, Junior College gitu," sambungnya.
"Yang nilai O Levelnya relatif rendah dan punya minat untuk kerja, ya pilihannya adalah Politeknik. Politeknik itu selama 3 tahun dan biasanya setelah itu mereka bisa langsung kerja," paparnya.
Sulfikar pun menjelaskan penyetaraan jenjang pendidikan di Singapura dan Indonesia.
Yakni, Primary School setara dengan SD, Secondary School setara dengan SMP ditambah kelas 1 SMA.
Sementara, yang setara dengan SMA di Indonesia adalah siswa yang sudah lulus Junior College atau A Level.
Di sisi lain, politeknik di Singapura levelnya sejajar dengan sekolah menengah kejuruan atau SMK di Indonesia, dan jika tidak langsung bekerja, masih bisa lanjut kuliah ke universitas jika sudah lulus.
"Nah, kalau kita setarakan di Indonesia ya, Primary School setara dengan SD, Secondary School itu setara dengan SMP plus kelas 1 SMA. Yang selevel atau setara dengan SMA di Singapura ini adalah A Level tadi, Junior College. Sementara, Politeknik itu setara dengan SMK, sekolah kejuruan, baru kemudian mereka bisa masuk universitas," ujar Fikar.
Sulfikar pun menjelaskan, di universitas tempatnya bekerja (NTU), mahasiswa baru yang diterima haruslah siswa yang lulusan A Level atau Junior College atau setara SMA.
"Nah, kebetulan saya itu sempat menjadi koordinator penerimaan mahasiswa baru di jurusan saya di NTU. Jadi, saya tahu gitu anak-anak yang masuk ke program kita itu dari mana saja, dan kita tidak pernah menerima mahasiswa lulusan O Level... harus A Level atau Junior College karena ini yang setara dengan SMA," jelasnya.
Kemudian, Sulfikar menambahkan bahwa ada istilah High School juga di Singapura yang tingkatannya setara dengan Junior College atau A Level alias sepadan dengan jenjang SMA di Indonesia.
"Nah, ada beberapa sekolah di Singapura yang menggunakan istilah High School, yang kalau kita setarakan sama dengan Junior College. Jadi, high school atau SMA itu setara dengan Junior College, dan mereka harus menyelesaikan pendidikan High School atau A level ini sebelum bisa mendaftar ke universitas," kata Fikar.
"Nah, memang kalau di NTU itu mayoritas yang masuk itu lulusan A Level, tapi ada juga yang lulusan Politeknik. biasanya kuotanya sekitar 15 sampai 20 persen dari penerimaan mahasiswa baru," sambungnya.
"Jadi saya punya juga mahasiswa yang lulusan politeknik dan biasanya mereka bagus-bagus gitu," tambahnya.
Bagaimana Bisa Masuk MDIS?
Setelah menjelaskan penyetaraan sekolah di Singapura dan Indonesia, Sulfikar pun menyoroti data pendidikan Gibran.
Khususnya masa sekolah di Orchid Park Secondary School, lalu ke pindah ke UTS Insearch Australia, dan kembali lagi ke Singapura menempuh studi di MDIS.
"Nah, kalau kita lihat rekam pendidikan dari Gibran ini, itu kan yang kalau kita merujuk ke informasi yang ada di KPU, itu kan dia menyelesaikan SD di Solo. Lalu, 2 tahun SMP di Solo," tutur Fikar.
"Asumsi saya, dia menyelesaikan kelas 7 dan 8, setelah itu dia transfer ke Orchid Park Secondary School Singapura. Jadi, kalau memang dia transfer, berarti dia menyelesaikan kelas 9 dan 10 di Orchid Park, dan ujungnya itu, dia mestinya mengambil ujian O Level," imbuhnya.
"Nah, setelah itu ya kita tahu, dia mencoba masuk ke UTS lewat Insearch itu kan, tapi kemudian dia kembali ke Singapura dan kuliah di MDIS," kata Fikar.
Ia menilai, kemungkinan Gibran justru tidak mengikuti tes A Level.
Dengan artian, menurut Fikar, jika memakai standar pendidikan di Singapura, Gibran tidak lulus pendidikan setara SMA yang seharusnya tidak memenuhi syarat untuk lanjut kuliah ke universitas.
Sehingga, akan terkesan janggal jika Gibran bisa melanjutkan studi ke MDIS.
Meski begitu, Sulfikar Amir tetap berpandangan diplomatis; bisa jadi ada syarat tertentu yang dipenuhi Gibran untuk masuk MDIS.
"Nah, jadi kalau kita lihat rekam pendidikan Gibran, kalau pakai standar Singapura, dia enggak menyelesaikan A Level, artinya tidak setara dengan SMA," ujar Fikar.
"Nah, saya enggak tahu ceritanya bagaimana, dia bisa masuk kuliah di MDIS. Mungkin ada syarat-syarat tertentu yang dia penuhi," sambungnya.
"Tetapi kalau [untuk] masuk ke NTU atau university di Singapura, itu enggak mungkin. Tidak mungkin, karena dia tidak menyelesaikan level yang setara SMA itu," paparnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Begini Penjelasan Mabes TNI Insiden Merah Putih Robek
Sidang Hak Angket Bupati Pati Ricuh, Pendukung Sudewo Adu Jotos dengan Massa AMPB
Hacker Bjorka asal Minahasa Ternyata Bukan Ahli IT, Polisi: Tidak Lulus SMK
Ray Rangkuti: Reformasi Polri Harus Dimulai dari Copot Listyo