Nyaris Bikin Indonesia Gelap, KPU Cabut Keputusan karena Takut Di-Nepalkan?

- Kamis, 18 September 2025 | 23:30 WIB
Nyaris Bikin Indonesia Gelap, KPU Cabut Keputusan karena Takut Di-Nepalkan?


Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes.*

Hampir saja kedamaian Indonesia yang baru pulih dari Tragedi Agustus berdarah kelabu bulan lalu kembali terkoyak akibat ulah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal ini dipicu oleh Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 tentang “Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan”.

Sebuah keputusan yang terkesan irasional, bahkan dalam bahasa Gen Z, “tidak masuk nurul.”

Bagaimana tidak? Keputusan yang ditandatangani sepihak oleh pimpinan KPU pada 21 Agustus 2025 lalu tanpa konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi II sebagai pengawasnya, langsung memicu kegaduhan publik.

Tak sedikit warganet di media sosial bahkan melontarkan seruan agar KPU “di-Nepalkan”, meskipun, syukurlah, hal itu tidak benar-benar terjadi.

Bisa dibayangkan, kedamaian yang dengan susah payah diraih bisa hilang begitu saja karena ulah KPU.

Untungnya, pada Selasa, 16 September 2025, KPU buru-buru menggelar konferensi pers untuk mencabut keputusan kontroversial tersebut.

Pengumuman disampaikan langsung oleh Ketua KPU Muh Affifuddin bersama Agust Melaz, Abdul Kholiq, dan jajaran komisioner lainnya.

Meski patut diapresiasi karena mau mendengar desakan publik, muncul pertanyaan: apakah pencabutan ini cukup untuk dianggap selesai?

Tak heran bila kini muncul desakan agar seluruh pimpinan dan komisioner KPU mengundurkan diri.

Sebab, keputusan No. 731 Tahun 2025 jelas merupakan hasil kolektif-kolegial, bukan keputusan pribadi.

Jadi, bukan hanya Muh Affifuddin yang harus bertanggung jawab, tetapi seluruh jajaran KPU, karena mereka bersama-sama gagal menjaga integritas lembaga.

Baca Juga:
Erick Thohir Resmi Dilantik Jadi Menpora, Status Ketua PSSI Jadi Sorotan

Mengapa keputusan itu sangat kontroversial? Karena salah satu tujuannya tampak jelas: menutup akses publik terhadap dokumen ijazah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Namun, akibatnya justru lebih fatal: seluruh 16 dokumen persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden ikut ditutup, termasuk LHKPN, surat pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945, hingga keterangan bebas dari keterlibatan G30S/PKI.

KPU beralasan ada konsekuensi bahaya bila dokumen-dokumen tersebut dibuka untuk publik, termasuk soal ijazah.

Namun alasan ini tidak masuk akal, bahkan mencerminkan keberpihakan kepada oknum pejabat yang enggan transparan.

Ironisnya, KPU berdalih sesuai PKPU No. 15 Tahun 2014 dan PKPU No. 22 Tahun 2018, padahal jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang kedudukannya lebih tinggi.

Sebelum pencabutan keputusan itu, saya sempat membahas masalah ini dalam program Dialog Kompas Petang, Senin, 15 September 2025, bersama mantan Ketua KPU Arif Budiman (2017–2022) dan pengacara Jokowi Rivai Kusumanegara, dipandu oleh Audrey Candra.

Dalam diskusi tersebut tampak jelas siapa yang berpihak pada transparansi dan siapa yang justru ingin menutupinya.

Fakta akhirnya terkonfirmasi dengan dibatalkannya keputusan KPU tersebut.

Kesimpulannya, meski Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 telah resmi dicabut, perjuangan menjaga demokrasi belum selesai.

Masyarakat harus terus mengawasi KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Setiap celah regulasi yang berpotensi melemahkan transparansi wajib dicurigai.

Musuh demokrasi sering menyelinap dari dalam, lewat aturan-aturan yang menutup akses publik.

Intinya, meski Presiden Prabowo Subianto baru saja melakukan reshuffle kabinet, rakyat tidak boleh lengah.

Kita harus tetap konsisten dalam gerakan menegakkan demokrasi dan supremasi hukum, termasuk melalui seruan #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa.

*) Pemerhati Telematika, Multimedia, AI, dan OCB Independen
Jakarta, Rabu 17 September 2025

Komentar