ERA 2024-2029 di bawah sorotan: hukum, politik oligarkis dan anggaran publik. Pertanyaannya, mampukah presiden baru memutus dominasi elite, menegakkan transparansi, dan merevitalisasi kepercayaan publik?
Belakangan ini, publik sering dihebohkan oleh media massa yang terus memberitakan kasus-kasus korupsi, baik yang baru muncul maupun kasus lama yang baru terungkap. Fenomena ini seolah telah mendarah daging dalam kehidupan politik dan birokrasi Indonesia. Tak mengherankan, korupsi tetap menjadi salah satu problem paling serius dalam sejarah demokrasi Indonesia. Transparency International (2024) menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), turun dari tahun sebelumnya dan masih jauh di bawah rata-rata global.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di level bawah, tetapi juga mengakar kuat pada struktur politik dan birokrasi. Di tengah tantangan itu, setiap pemimpin nasional diuji sejauh mana komitmennya melawan praktik yang menggerogoti sendi-sendi negara. Kini, di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, muncul pertanyaan penting : pantaskah ia menyandang gelar sebagai tokoh antikorupsi?
Secara konseptual, antikorupsi bukan sekadar slogan politik. Menurut Robert Klitgaard (1988) dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi lahir ketika ada monopoli kekuasaan, ditambah diskresi yang besar dan minim akuntabilitas. Karena itu, agenda antikorupsi mengandung makna memperkuat institusi hukum, menutup ruang penyalahgunaan wewenang dan memastikan transparansi anggaran negara. Dengan demikian, ukuran keberhasilan seorang presiden tidak boleh dilihat dari retorika semata, melainkan dari bukti nyata.
Rekam Jejak dan Persepsi Publik
Secara pribadi, Prabowo tidak pernah terbukti secara hukum terlibat dalam kasus korupsi. Akan tetapi, latar belakangnya sebagai perwira tinggi TNI di era Orde Baru membuat sebagian kalangan tetap meragukan komitmen antikorupsinya. Orde Baru sendiri dikenal dengan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang mengakar kuat.
Selain itu, bersumber Kompas (2022) ”Kontroversi Anggaran Pertahanan dan Transparansi Pengadaan Alutsista." Selama menjabat Menteri Pertahanan (2019-2024), Prabowo mengelola anggaran pertahanan yang sangat besar, mencapai lebih dari Rp130 triliun per tahun. Kritik kerap muncul terhadap transparansi pengadaan alutsista, misalnya dalam wacana pembelian jet tempur Rafale dan kapal selam. Walaupun tidak ada bukti korupsi yang melekat langsung kepadanya, persepsi publik masih bercampur antara karisma kepemimpinan dan keraguan soal integritas.
Di sisi lain, gaya politik Prabowo yang pragmatis, termasuk merangkul banyak elite dan oligarki, juga menimbulkan pertanyaan : sejauh mana ia berani melawan state capture corruption yang justru dilakukan oleh lingkaran kekuasaan? Dengan kata lain, legitimasi Prabowo sebagai tokoh anti-korupsi masih lebih berupa potensi daripada kenyataan.
Tiga Pilar Utama Agenda Pemberantasan Korupsi
Dalam konteks Prabowo, ada tiga titik krusial yang akan menjadi indikator apakah ia pantas menyandang gelar antikorupsi. Pertama, memperkuat independensi KPK, Kejaksaan dan lembaga penegak hukum lainnya. Kedua, memotong jalur state capture corruption, yakni korupsi terstruktur oleh elite untuk menguasai kebijakan negara demi keuntungan pribadi. Konsep ini banyak dibahas dalam kajian Bank Dunia (2000) yang menunjukkan bahwa state capture merusak demokrasi lebih parah daripada korupsi administratif biasa. Ketiga, menunjukkan transparansi dalam pengelolaan anggaran besar, terutama di sektor pertahanan dan infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintahannya.
Pertama, soal independensi lembaga penegak hukum. Sejak revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, indeks kepercayaan publik terhadap KPK menurun (LSI, 2023). Jika Prabowo ingin dicatat sebagai pemimpin antikorupsi, ia harus berani mengembalikan posisi KPK sebagai lembaga yang independen. Demikian pula dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian, yang menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2022) masih kerap dipolitisasi. Komitmen memperkuat independensi berarti membiarkan hukum berjalan apa adanya tanpa diskriminasi.
Kedua, memutus rantai state capture corruption. Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy menegaskan bahwa demokrasi Indonesia pasca-Reformasi masih dikuasai oleh oligarki ekonomi yang mampu mempengaruhi regulasi dan kebijakan publik. Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa kebijakan di sektor sumber daya alam atau proyek strategis nasional sering berpihak pada segelintir konglomerat. Jika Prabowo ingin dikenang sebagai presiden antikorupsi, ia harus membatasi pengaruh oligarki dalam lingkaran kekuasaan.
Ketiga, transparansi anggaran. Belanja pertahanan Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai lebih dari Rp300 triliun (APBN 2025). Dalam konteks geopolitik, kebutuhan ini memang relevan, tetapi tanpa pengawasan yang kuat justru berisiko menjadi ladang korupsi. Laporan Global Corruption Barometer (Transparency International, 2023) menyebutkan bahwa sektor pertahanan merupakan salah satu yang paling rawan korupsi di banyak negara. Oleh karena itu, mekanisme audit independen dan laporan berkala kepada publik mutlak diperlukan.
Antara Harapan dan Tantangan Politik
Namun, semua peluang ini menyimpan paradoks. Sebagai bagian dari elite politik yang lama berada di lingkaran kekuasaan, Prabowo tentu tidak lepas dari jejaring lama yang sarat kepentingan. Koalisi politik yang besar tidak hanya memberikan legitimasi, tetapi juga membawa konsekuensi berupa tuntutan distribusi jabatan dan akses sumber daya. Vedi R. Hadiz (2010) dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia menekankan bahwa korupsi di Indonesia sering lahir dari kompromi politik yang tidak bisa dihindari.
Harapan publik terhadap agenda antikorupsi di era Prabowo sesungguhnya besar. Survei Indikator Politik Indonesia (2023) menunjukkan bahwa 72 persen masyarakat menilai korupsi sebagai masalah paling serius yang harus ditangani pemerintah. Masyarakat sudah jenuh dengan praktik korupsi dari pusat hingga daerah. Dalam konteks ini, keberhasilan Prabowo tidak hanya soal reputasi pribadi, tetapi juga soal memperkuat kembali legitimasi negara.
Pada akhirnya, menjawab pertanyaan apakah Prabowo pantas menyandang gelar antikorupsi saat ini masih terlalu dini. Gelar itu lebih tepat disebut sebagai harapan sekaligus tantangan politik yang harus dibuktikan dalam lima tahun ke depan. Ukurannya jelas: apakah independensi hukum diperkuat, apakah jalur oligarki diputus dan apakah transparansi anggaran benar-benar dijalankan? Tanpa bukti konkret, gelar antikorupsi hanyalah retorika rapuh. Tetapi jika ia berhasil melampaui tantangan itu, Prabowo bukan hanya pantas menyandang gelar antikorupsi, melainkan juga akan dikenang sebagai pemimpin yang berani menegakkan integritas di tengah arus besar oligarki politik Indonesia.
OLEH: ARIEF RACHMAN
Penulis adalah Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Blunder KPU! Ijazah Hingga SKCK Capres Jadi Rahasia, DPR Protes: Informasi Biasa Kok Disembunyikan?
Penyaluran Rp200 Triliun Ala Menkeu Purbaya Dinilai Langgar Konstitusi dan 3 UU, Begini Penjelasannya!
Mengejutkan! Media Luar Negeri: AS Menyusup Tunggangi Demo Nepal dan Indonesia?
Anggota DPR Heran KPU Rahasiakan Ijazah Capres-Cawapres setelah Pemilu Selesai