Posisi Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sesak napas di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, itu lantaran kondisi utang yang ugal-ugalan ketika era pemerintahan Jokowi.
SAL merupakan akumulasi neto dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) atau Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) dari tahun anggaran yang lalu dan tahun yang bersangkutan, setelah ditutup dan ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
SAL merupakan bagian dari ekuitas dalam keuangan pemerintah dan muncul dari Laporan Realisasi Anggaran.
Pakar ekonomi dari Bright Institute Prof. Awalil Rizky menyampaikan posisi SAL pada era kedua pemerintahan SBY relatif stabil, hanya sedikit bertambah atau berkurang tiap akhir tahun.
Kondisi itu disebabkan SiLPA yang tidak terlampau besar, serta dipakainya SAL tiap tahun.
Posisinya sebagai berikut: Rp98,91 triliun (2010), Rp105,32 triliun (2011), Rp70,26 triliun (2012), Rp66,59 triliun (2013), danRp86,14 triliun (2014).
Fenomena kelebihan berutang itu disebut sebagai sisa lebih pembiayaan (SiLPA).
Ia menuturkan posisi SAL pada era pertama pemerintahan Jokowi terus bertambah dari tahun ke tahun. Kondisi itu disebabkan SiLPA yang cukup besar, serta SAL yang hanya sedikit atau tidak dipergunakan tiap tahun. Posisinya pada 2019 telah mencapai Rp212,70 triliun.
Posisinya melonjak menjadi Rp388,11 triliun pada 2020. Meski sedikit menurun menjadi Rp337,8 triliun pada 2021, kemudian kembali melonjak mencapai Rp478,96 triliun pada 2022. Posisinya relatif bertahan, yaitu Rp459,50 triliun pada 2023 dan Rp457,54 triliun pada 2024.
"Dengan demikian, sejak era pertama pemerintahan Jokowi, berutang selalu lebih besar dibanding kebutuhan membiayai defisit. Bukan semata karena soalan pandemi covid, yang hanya menambah besarannya," ucap Prof Awalil Rizky kepada wartawan, Senin, 15 September 2025.
Sebagaimana umum diketahui, utang pemerintah berbiaya besar yang tergambar pada pembayaran bunga utang yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain nominal, persentase bunga atas posisi utang rata-rata pun perlahan meningkat.
Prof Awalil Rizky mengatakan kebijakan memindahkan sebagian SAL dari rekening Bank Indonesia ke Bank Himbara bisa dikatakan hanya terkait dengan pemanfaatan temporer.
Ia justru mempertanyakan pemerintah tentang kebijakan tersebut.
"Mengapa tidak dipilih kebijakan menggunakannya untuk mengurangi kebutuhan berutang. Pilihan kedua itu potensial mengurangi pembayaran bunga dan juga risiko refinancing APBN. Bisa ditambahkan keuntungan menstabilkan harga SBN dan dampak positif lainnya bagi perekonomian," ujarnya.
Masalahnya, kata Prof Awalil, menjadi lebih kompleks jika ternyata dana SAL selama ini memang amat diandalkan untuk kebutuhan kas temporer Pemerintah.
"Kemungkinan juga untuk “membantu” likuditas beberapa BUMN dan Badan Hukum Lainnya milik negara," ujarnya.
Ia menegaskan jika hal ini yang sebenarnya berlangsung, maka menjadi berlebihan narasi seolah kebijakan pemindahan berdampak besar pada sektor riil atau pertumbuhan ekonomi.
"Perlu dicermati, pemindahan pun akan berupa “deposit on call”. Menguatkan dugaan kebutuhan pemakaian “temporer” selama ini. Cukup jelas bahwa kinerja SAL selama ini merupakan akibat dari berutang yang ugal-ugalan selama era Jokowi. Ada pula indikasi pengelolaan SAL tidak optimal dan bisa saja “menyamarkan” praktik buruk sebagian pihak," demikian Prof Awalil Rizky.
Sumber: rmol
Foto: Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Foto: Sekretariat Presiden)
Artikel Terkait
Pejabat Malaysia dari Anggota Parlemen hingga Menteri Ramai-ramai Dapat Email Ancaman
Sidang Gugatan Ijazah Gibran di PN Jakpus, KPU Siap Hadapi
Lima Tersangka Pembunuh Diplomat RI Diduga Terafiliasi Geng Kriminal
Riezky Kabah, TikTokers yang Dilaporkan karena Hina Suku Dayak