Mungkinkah Prabowo Jatuh Sebelum Desember 2025?

- Selasa, 02 September 2025 | 20:40 WIB
Mungkinkah Prabowo Jatuh Sebelum Desember 2025?


Oleh: Yusak Farchan*

DEMONSTRASI yang sudah berkembang menjadi amuk massa ekstrem menjadi indikator betapa rapuhnya basis pertahanan politik Presiden Prabowo Subianto.

Belum genap setahun menjabat, alarm bahaya sudah berbunyi. Prabowo terjepit di antara banyak kepentingan dan berhadapan dengan banyak kelompok. 

Prabowo bukan hanya berhadapan dengan kekuatan besar oligarki yang tidak diuntungkan dengan rezim Prabowo, tapi juga berhadapan dengan kekuatan politik lainnya atau pemain lama, termasuk berhadap-hadapan dengan rakyat yang tidak puas atas kebijakan pemerintah dan DPR.

Sejak dilantik, Prabowo terlalu percaya diri dengan inner cyrcle-nya yang terbukti gagal "melindungi" Prabowo saat ini dari tekanan politik besar. 

Lingkaran dalam Prabowo tampak tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi chaos seperti saat ini. Apa yang bisa dilakukan sekelas Letkol Teddy Indra Wijaya dalam menghadapi turbulensi politik sebesar ini? 

Gerbong dalam Prabowo masih terlihat seperti “pemain baru” dan "amatir" dalam mengelola kekuasaan.

Postur kabinet gemuk ternyata tidak berbanding lurus dengan kokohnya political defense Prabowo karena cenderung bertumpu pada gerakan "asal rangkul" di level elite. 

Gaya politik akomodatif Prabowo tak membuahkan hasil signifikan dalam memperkuat stabilitas politik, padahal mayoritas parpol sudah dikuasai Prabowo.

Bagi-bagi kekuasaan ala Prabowo baik ke lingkaran dalam mapun keluar, tidak diimbangi dengan penguatan inner cyrcle, khususnya orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan sebagai negosiator politik handal. 

Di lingkaran dalam Prabowo, hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan luwes dalam menjalin komunikasi politik secara taktis dan strategis dengan berbagai kelompok seperti Prof. Sufmi Dasco Ahmad.

Hanya saja, peran-peran Don Dasco juga terbatas dan tidak setiap saat dilibatkan Prabowo dalam setiap momentum strategis. 

Friksi internal yang mengental di tubuh Gerindra memberi andil terhadap lemahnya basis pertahanan politik Prabowo.

Faksi hijau-militer yang sudah dikuasai Prabowo belum sepenuhnya bisa diandalkan dalam membantu mengendalikan stabilitas politik dan menopang kekuatan politik Prabowo. 

Kerja-kerja intelijen juga belum maksimal dalam mendeteksi gerakan deligitimasi kepemimpinan Prabowo dan mencegah gerakan provokasi sistemik yang meluas. 

Sementara itu, polisi, masih menjadi warisan kekuasaan lama. Hingga saat ini, tak ada kode Presiden Prabowo untuk mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dengan dukungan kekuasaan lama, tampaknya Kapolri cukup percaya diri memimpin. 

Meskipun didesak mudur oleh banyak kalangan, Kapolri tak bergeming, bahkan “menantang” balik Presiden Prabowo dengan menyatakan penggantian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden.

Dengan basis pertahanan politik yang rapuh, kemungkinan Prabowo jatuh sebelum Desember 2025 memang masih fifty-fifty. Ada banyak variabel yang harus dihitung. 

Dalam jangka pendek, salah satu variabel yang cukup menentukan adalah bagaimana pendekatan polisi dalam menghadapi gelombang demo dan amuk massa ke depan.

Perintah Prabowo agar TNI-Polri menindak tegas pelaku demo anarkis, bisa menjadi pisau bermata dua; bisa membuat situasi politik menjadi stabil kembali atau justru sebaliknya, membuat ledakan amuk massa ekstrim semakin meluas. 

Semua bergantung pada kerja-kerja pihak kepolisian, bagaimana menterjemahkan perintah menindak tegas tersebut.

Ketika terjadi demonstrasi atau kerusuhan, ada banyak celah di lapangan yang membuat aparat bisa leluasa menerabas aturan atau rambu-rambu atas nama “tindakan tegas". 

Ketika jatuh korban, sangat mudah bagi Polri untuk mencari alasan atau pembenaran, tinggal melempar kesalahan kepada presiden sebagai sang pemberi perintah.

Begitu juga dengan psikologi massa yang sangat mudah terprovokasi untuk semakin brutal dan anarkis. Demo 25 dan 28 Agustus 2025 dan setelahnya, tak bisa sepenuhnya disebut organik atau gerakan masyarakat murni karena berkelindan dengan banyak kepentingan.

Amuk massa dan penjarahan terjadi karena adanya provokasi sistemik. Target operasi sudah dirancang rapi dengan pola yang sama dan berulang di berbagai daerah. Kantor lembaga legislatif dan kepolisian menjadi sasaran amuk massa karena menjadi simbol arogansi elite. 

Bahkan amuk massa dan penjarahan sekarang sudah menyasar ke ranah personal pejabat publik. Sasaran personal terlokalisir pada pejabat publik yang dianggap sebagai "common enemy" karena ucapan dan kebijakannya yang tidak pro rakyat, seperti Anggota DPR Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, Nafa Urbach, Adies Kadir dan Menkeu Sri Mulyani.

Jika pendekatan Polri dalam menghadapi demonstrasi ke depan semakin represif, maka peluang jatuhnya korban bisa lebih banyak. Inilah yang akan membuat turbulensi politik bisa semakin kencang. 

Aksi-aksi solidaritas nasional kepada korban brutalitas aparat bisa meluas. Situasi bisa menjadi tidak terkendali karena amuk massa dan penjarahan bisa saja melebar pada fasilitas publik seperti jalan tol, stasiun, pusat perbelanjaan, pelabuhan dan lain-lain. 

Kalau fasilitas publik terganggu, maka ekonomi akan lumpuh. Krisis ekonomi akan mempermudah munculnya tuntutan Prabowo lengser.

Kalau desakan mundur menguat, dengan melihat karakter personal Prabowo yang cinta NKRI, Prabowo bisa saja mengundurkan diri (berhenti) demi menjaga persatuan nasional. 

Skenario lengser dengan pendekatan soft landing bisa menjadi pilihan paling realistis. Prabowo kemungkinan tidak akan melakukan perlawanan politik di MPR ketika desakan mundur semakin kencang.

Soal sikap partai-partai di Senayan, parpol pada akhirnya akan realistis, mengikuti arah angin yang paling menguntungkan. Konsensus elite parpol sangat mudah dibangun sepanjang saling menguntungkan.

Sekarang bola kembali kepada Prabowo sendiri. Jika Prabowo tidak memperkuat basis pertahanan politiknya, peluang terjadinya "kudeta" politik cukup tinggi. 

Harus diakui bahwa basis pertahanan politik prabowo sebetulnya masih rapuh terutama dalam menghadapi aktor-aktor shadow state yang terlalu kuat.

Prabowo tidak berdaya menghadapi koruptor-koruptor kelas kakap di sektor pertambangan, migas, sawit, tanah, pertanian dan perkebunan yang sedang terancam masa depan bisnisnya. 

Prabowo cukup rapuh menghadapi gempuran atau serangan balik dari pemain-pemain besar yang menguasai sumber daya ekonomi strategis nasional.

Prabowo bisa saja selamat dari tuntutan mundur jika mau berdamai dengan kekuatan besar yang sedang menekannya.  Tapi resiko politik nya, Prabowo akan menghadapi gerakan masyarakat sipil organik yang kritis terhadap pemerintah seperti CSO dan elemen-elemen mahasiswa.

Jatuh tidaknya Prabowo sebelum Desember 2025 kembali pada pilihan yang akan diambil Prabowo; berdamai dengan oligarki atau terus melawan. 

Prabowo sedang dihadapkan pada pilihan sulit; berdamai dengan oligarki atau tumbang lebih cepat. Jika berdamai atau berkompromi, Prabowo berpeluang selamat, tapi mimpi-mimpi besar Prabowo untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945 menjadi kandas. 

Pemberantasan mega skandal korupsi SDA hanya akan menjadi coretan visi di atas kertas dan imajinasi Prabowo. 

Jika Prabowo melawan, maka stabilitas politik akan dibuat lebih goncang. Spiral kerusuhan dan amuk massa bisa menjalar kemana-mana yang akan berujung pada public distrust terhadap Prabowo. 

Dalam situasi chaos berskala luas, maka cara paling soft untuk merayu Prabowo mundur adalah dengan menempatkannya sebagai purnawirawan yang berjasa besar terhadap kesatuan bangsa. 

Perlawanan Prabowo bisa saja berhasil jika basis pertahanan politiknya diperkuat. Kendali penuh atas TNI dan Polri mutlak dilakukan. 

Selain itu, Prabowo harus bisa mengkapitalisasi dukungan rakyat dengan program-program populisnya serta membatalkan kebijakan-kebijakan di segala sektor yang memberatkan rakyat banyak seperti pajak. 

Kerja-kerja politik tersebut memang berat jika tidak ditopang dengan squad atau basis pertahanan politik yang kokoh. 

Sekarang pilihan ada di tangan Prabowo!rmol news logo article

*Penulis adalah Pengamat Politik

Komentar