IRONI! Beda Nasib Pejabat dan Rakyat Kecil, IWPI: Ketidakadilan Pajak Era Sri Mulyani Jadi Menkeu

- Selasa, 26 Agustus 2025 | 20:10 WIB
IRONI! Beda Nasib Pejabat dan Rakyat Kecil, IWPI: Ketidakadilan Pajak Era Sri Mulyani Jadi Menkeu

GELORA.ME - Menjadi anggota DPR atau pejabat negara, memang enak. 


Penghasilan cukup gede, ditambah berbagai tunjangan yang nilainya wah, dan tak perlu pusing mikirin pajak penghasilan


Beda jauh dengan karyawan swasta kelas menengah, gajinya pas-pasan harus disunat pajak pula.


Ketua Umum (Ketum) Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, mengaku miris dengan viralnya pemberitaan bahwa pajak penghasilan (PPh) dari pejabat pusat hingga daerah, termasuk anggota DPR dan DPRD, dibayarkan lewat APBN atau APBD.


Dia menyebut, kebijakan tersebut, merupakan bentuk nyata ketidakadilan fiskal dan pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat. 


"Kebijakan ini mempertontonkan ketidakadilan fiskal dan pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Rakyat kecil dikejar-kejar harus bayar pajak. Kalau enggak bayar, dikenai denda besar. Sementara pejabat pusat hingga daerah, serta anggota DPR dan DPRD, bebas pajak. Pajaknya dibayarkan negara, enak betul itu," papar Rinto Setiyawan di Jakarta, Selasa (26/8/2025).


Rakyat, kata dia, sejatinya adalah pemilik kedaulatan negara, namun masih dibebani tarif pajak progresif hingga 35 persen. 


Sementara pejabat negara, baik level pusat hingga daerah, kewajiban PPh-nya justru ditanggung negara. Yang notabene berasal dari keringat rakyat. 


"Hal ini jelas diatur dalam PP Nomor 80 Tahun 2010, pasal 2 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan PPh pasal 21 atas Penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD," bebernya.


Menurut Rinto, fakta menunjukkan adanya standar ganda dalam kebijakan fiskal yang dijalankan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani.


Rakyat kecil yang bekerja keras sebagai buruh, pedagang kecil dan UMKM dipaksa membayar pajak penuh, sementara pejabat yang mendapat fasilitas, tunjangan dan gaji besar, malah menikmati keistimewaan.


"Bagaimana mungkin keadilan pajak ditegakkan jika pejabat yang mestinya memberi teladan, justru diistimewakan," imbuhnya.


Ketika rakyat mencari keadilan dalam sengketa pajak, lanjut Rinto, kerap menemui jalan buntu. 


Sebab, hampir seluruh lembaga mulai eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sudah masuk dalam lingkaran penerima fasilitas pajak ditanggung negara.


"Kondisi ini membuat rakyat semakin terpojok, seakan negara berdiri untuk melindungi pejabat, bukan rakyat," imbuhnya.

Halaman:

Komentar