Operasi Garis Dalam: Ancaman 'Terselubung' di Balik Kekuasaan Presiden Prabowo!
Oleh: SRI RADJASA MBA
Dalam dunia intelijen tempur, dikenal sebuah strategi yang disebut operasi garis dalam.
Sebuah pendekatan kontra intelijen yang bertujuan menghancurkan kekuatan lawan dari dalam sistemnya sendiri.
Operasi ini biasanya dilakukan dengan cara menyusupkan individu kepercayaan ke dalam struktur lawan, untuk kemudian secara sistematis memetakan kekuatan dan kelemahan.
Menyabotase kebijakan, serta membentuk persepsi publik yang melemahkan kepemimpinan target.
Dampak dari strategi ini sangat destruktif, karena kerusakan yang ditimbulkan seolah-olah bersumber dari ketidakmampuan internal, bukan dari serangan eksternal yang terselubung.
Situasi politik nasional saat ini menampilkan indikasi yang patut dicermati dari perspektif intelijen.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi tekanan dari berbagai sektor, mulai dari aspek hukum, ekonomi, hingga politik.
Namun apabila dicermati lebih jauh, keresahan publik dan potensi instabilitas nasional bukan semata-mata akibat kebijakan langsung Presiden Prabowo.
Melainkan lebih disebabkan oleh praktik politik dari sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya terutama kelompok yang berafiliasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kroninya yang masih memegang kendali atas sejumlah instrumen kekuasaan negara.
Ada berbagai gejala yang menunjukkan bahwa kekuasaan Prabowo tengah diintervensi oleh kekuatan internal yang belum sepenuhnya loyal terhadap arah baru pemerintahan.
Sejumlah menteri dari Kabinet Indonesia Maju yang merupakan loyalis Jokowi, masih memainkan peran besar dalam pengambilan kebijakan.
Dan beberapa di antaranya justru menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Misalnya, pernyataan kontroversial Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengenai masalah tanah, pernyataan Menteri Keuangan soal pajak yang memicu polemik.
Sikap pasif Menteri Perhubungan dalam merespons protes para pengemudi ojek online.
Serta langkah Menteri ESDM dan Menteri Perdagangan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil, seperti kebijakan penghapusan elpiji 3 kg bersubsidi.
Selain itu, kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat seperti penundaan pengangkatan CASN oleh MenPAN-RB.
Pencopotan Pendamping Desa oleh Menteri Desa, atau penyalahgunaan kop surat kementerian untuk kepentingan Pilkada semakin memperparah persepsi negatif terhadap kinerja pemerintah.
Tidak ketinggalan gaya komunikasi publik yang cenderung elitis atau bahkan mengintimidasi.
Seperti yang pernah ditunjukkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan dalam menanggapi kritik masyarakat melalui tagar #IndonesiaGelap.
Hal-hal seperti ini menimbulkan kesan bahwa negara kehilangan kendali terhadap narasi dan simpati publik.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah persepsi publik terhadap aparat penegak hukum.
Artikel Terkait
Kepsek Dicopot! Pelajar SMA Ini Dilarang Ujian Gara-gara Tunggakan SPP, Netizen Geram
Erick Thohir Meminta Maaf, Tapi Publik Masih Geram: Apa yang Salah?
Prabowo Tegaskan Tak Bayar Utang Kereta Cepat, Warisan Proyek Jokowi
Raja Juli Bocorkan Sosok Misterius R yang Akan Gabung ke PSI, Ungkap Keterkaitan dengan Sosok J!