Oleh: Defiyan Cori*
IDE dan gagasan hadirnya sebuah organisasi yang konsolidatif mewadahi berbagai BUMN sebenarnya telah lama ada. Konsep ini dikenal dengan istilah super holding muncul pasca Kementerian Badan Usaha Milik Negara lahir di era pemerintahan Presiden Soeharto dengan Menteri pertamanya, Tanri Abeng.
Alasannya saat itu, memang BUMN terlalu banyak bahkan bergerak dalam cabang produksi atau sektor industri yang tidak ada urusannya dengan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Selain itu, terlalu gemuknya BUMN mengakibatkan manajemen tidak efektif dan efisien ditambah tata kelolanya masih birokratis, tidak transparan dan akuntabilitasnya rendah.
Atas dasar inilah, Indonesia membutuhkan sebuah perusahaan negara yang lebih fleksibel beroperasi memenuhi cita-cita dan kehadiran BUMN sejak pasca kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, revisi "super cepat" Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang telah disahkan tanpa proses uji publik secara transparan dan bertanggung jawab (accountable) menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, (perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003) dilakukan oleh DPR RI. Revisi ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola (good corporate governance), efektivitas dan efisiensi serta daya saing BUMN di percaturan bisnis dunia (global).
Namun, pertanyaannya apakah struktur organisasi, koordinasi dan model pengelolaan atau pengumpulan laba BUMN satu atap yang saat ini diperankan oleh Daya Anagata Nusantara (Danantara) sudah mewakili konsep super holding BUMN yang tepat dan konstitusional?
Forum Strategis RUPS
Artikel Terkait
Laba Bank JTrust (BCIC) Tembus Rp63,74 Miliar di Kuartal III 2025, Kredit & DPK Tumbuh
Said Iqbal Tolak Kenaikan UMP Rp50 Ribu, Ancam Mogok Nasional
Standar Pelayanan Publik Baru: Upaya Pemerintah Tingkatkan Kualitas Layanan
Wakil Bupati Pidie Jaya Hasan Basri Diduga Pukul Kepala SPPG, Ini Kronologinya