Prof Ryas Rasyid: Bagi Yang Punya Akal Sehat, Jokowi Tidak Punya Ijazah Asli!

- Kamis, 24 Juli 2025 | 18:40 WIB
Prof Ryas Rasyid: Bagi Yang Punya Akal Sehat, Jokowi Tidak Punya Ijazah Asli!




GELORA.ME - Dalam demokrasi modern, legitimasi seorang pemimpin tidak hanya bertumpu pada suara mayoritas, tetapi juga pada transparansi dan integritas personal. 


Hal-hal yang tampak sederhana seperti keaslian ijazah atau konsistensi dalam pernyataan publik bisa menjadi kunci penilaian atas kejujuran dan tanggung jawab seorang pejabat tinggi. 


Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, pertanyaan mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menyeruak ke permukaan, kali ini melalui sorotan kritis dari Prof. Dr. Ryaas Rasyid, seorang akademisi dan tokoh reformasi tata kelola pemerintahan.


Ryaas Rasyid bukan sosok sembarangan. 


Ia adalah salah satu arsitek otonomi daerah dan pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 


Pandangannya soal hilangnya dokumen pencalonan Jokowi di KPU Solo, Jakarta, dan Pusat bukan sekadar gumaman pinggir jalan. 


Ia mempertanyakan secara terbuka: Mengapa dokumen administrasi penting seperti ijazah Jokowi tidak bisa ditemukan di ketiga level KPU tersebut? 


Dan yang lebih mengkhawatirkan, mengapa baik Jokowi maupun KPU memilih diam?


Diam yang berulang bukan hanya menciptakan kesan penghindaran, tetapi juga mencederai akal sehat publik. 


Di negara mana pun, seorang kepala negara wajib memiliki riwayat administratif yang lengkap dan bisa diverifikasi. 


Ketika dokumen-dokumen itu hilang tanpa jejak, dan tidak ada klarifikasi resmi, maka publik punya hak penuh untuk bertanya: ada apa yang disembunyikan?


Lebih jauh lagi, Ryaas juga menyinggung momen di mana Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai Presiden, datang ke kampus almamaternya UGM dan menyebut Prof. Dr. Kasmujo sebagai dosen pembimbing skripsinya. 


Pernyataan ini segera dibantah oleh Kasmujo sendiri, yang menegaskan bahwa ia tidak pernah membimbing skripsi Jokowi. 


Jika benar demikian, maka publik dihadapkan pada kenyataan pahit: seorang kepala negara menyampaikan informasi keliru di ruang akademik, tanpa ada koreksi, klarifikasi, atau tanggung jawab moral yang ditunjukkan.


Dua kejadian ini—hilangnya dokumen dan klaim pembimbing yang tidak sesuai fakta—bukan sekadar isu administratif. Ia menyentuh jantung integritas. 


Sebab, seorang pemimpin bukan hanya dipilih untuk memimpin, tetapi juga untuk menjadi teladan. Kejujuran adalah pondasi dasar dari semua nilai kepemimpinan. 


Ketika kejujuran ini dipertanyakan dan tidak dijawab, maka yang hilang bukan hanya dokumen, tapi kepercayaan publik.


Sebagian mungkin akan membela dengan dalih bahwa ini hanya manuver politik, bahwa Jokowi telah dua kali terpilih secara demokratis, dan bahwa isu ijazah ini hanyalah fitnah belaka. 


Namun bila demikian, mengapa pembuktian terhadap keaslian ijazah itu tak pernah diselesaikan secara terbuka dan tuntas? 


Jika benar tidak ada yang disembunyikan, bukankah lebih mudah menunjukkan bukti otentik, bukan sekadar legalisasi fotokopi?


Diamnya negara, terutama lembaga seperti KPU yang seharusnya menjaga integritas proses demokrasi, memperburuk kecurigaan. 


Dalam sistem yang sehat, KPU wajib menyimpan dan memverifikasi seluruh dokumen pencalonan, bukan justru kehilangan atau abai. 


Diamnya Jokowi, di sisi lain, memperlihatkan ketidakpedulian terhadap pertanyaan moral dan integritas personal yang semestinya dijunjung tinggi oleh seorang Presiden.


Kita tak sedang memburu masa lalu seseorang untuk mempermalukannya, melainkan ingin memastikan bahwa pemimpin kita lahir dari proses yang benar, jujur, dan bertanggung jawab. 


Di sinilah esensi demokrasi diuji. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal kejujuran, keterbukaan, dan akuntabilitas.


Selama pertanyaan-pertanyaan ini tak dijawab, selama dokumen-dokumen itu tak muncul, dan selama klarifikasi tak pernah datang, maka setiap warga negara berhak untuk terus bertanya: siapa sebenarnya yang sedang kita sebut sebagai Presiden? Dan apa yang sebenarnya sedang ditutupi oleh diam yang berkepanjangan itu?


Jokowi Nikmati Pemberitaan Ijazah Palsu


Keputusan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi untuk melaporkan sejumlah pihak yang memintanya menunjukkan ijazah asli dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), merupakan strategi ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka untuk merawat popularitas usai lengser dari kekuasaan.


Demikian dikatakan pakar politik Prof Ryaas Rasyid dikutip dari Youtube Kanal SA, Kamis 24 Juli 2025.


"Beliau ini kelihatannya menikmati suasana pemberitaan yang simpang siur itu. Kan itu lagi popular," kata Ryaas.


Ryaas menilai sejak masuk panggung politik lewat Pilkada Solo, Pilkada DKI Jakarta hingga Pilpres, Jokowi merupakan salah satu pemimpin yang mendambakan popularitas. 


"Terlepas (popularitas) positif atau negatif, terpenting disebut-sebut. Alam Bawah sadarnya mungkin begitu," kata Ryaas.


[VIDEO]



Sumber: FusilatNews

Komentar